Kehidupanekonomi masyarakat kerajaan Tarumanegara mengandalkan pertanian dan perdagangan. Hal ini dibuktikan dari isi Prasasti Tugu mengenai penggalian sungai Candrabaga dan Gomati. Penggalian kedua sungai ini merupakan bukti bahwasanya selain untuk menghindari banjir , tujuannya juga digunakan untuk kegiatan irigasi-irigasi pertanian.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Nina Herlina Lubis saat menjadi pembicara dalam diskusi virtual “Satu Jam Berbincang Ilmu Kerajaan Sunda dalam Konstelasi Politik, Dulu dan Kini”, Sabtu 13/3. [ Jawa Barat setidaknya memiliki dua kerajaan besar yang pernah berdiri setelah zaman Tarumanagara, yaitu Galuh dan Sunda. Dua kerajaan ini memiliki akar kuat sebagai identitas sejarah dan budaya dari masyarakat Sunda. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Nina Herlina Lubis menjelaskan, berbicara mengenai kerajaan Sunda, maka tidak bisa dipisahkan dari nama kerajaan Galuh. Sebab, antara kerajaan Sunda dan Galuh pernah bersatu dengan nama kerajaan Sunda dan pusat kekuasaannya berada di wilayah Galuh. Saat menjadi pembicara dalam diskusi virtual “Satu Jam Berbincang Ilmu Kerajaan Sunda dalam Konstelasi Politik, Dulu dan Kini”, Sabtu 13/3, Prof. Nina menjelaskan, penyatuan kerajaan Sunda dan Galuh terjadi pada masa Sanjaya, raja Sunda setelah Maharaja Trarusbawa. “Dalam sumber primer Prasasti Canggal disebutkan, Sanjaya merebut takhta kerajaan Galuh dari Rahyang Purbasora sekitar sebelum tahun 732 Masehi,” ungkapnya. Berbeda dengan Kerajaan di Jawa Tengah dan Timur Sejarawan Unpad ini menjelaskan, berdasarkan tinggalan sejarah, ibu kota atau pusat kekuasaan kerajaan Galuh berpindah-pindah. Bermula di daerah di dekat Banjar saat ini, lalu berpindah wilayah yang saat ini menjadi perbatasan Ciamis-Banjar, serta kembali pindah ke daerah Kawali. “Di Kawali itulah kita menemukan sumber yang bisa dipercaya tentang Galuh, yaitu 6 prasasti yang menyebutkan berbagai peristiwa tentang kerajaan Galuh,” papar Prof. Nina. Memiliki ibukota kerajaan yang berpindah menyebabkan adanya perbedaan karakteristik kerajaan Sunda dengan kerajaan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Kerajaan Sunda cenderung memiliki tinggalan sejarah berupa bangunan candi yang lebih sedikit dibanding di wilayah tengah dan timur. Ini disebabkan, masyarakat Sunda pada saat ini bukan sebagai masyarakat menetap. Hal ini menyebabkan mengapa ibu kota kerajaan Galuh dan Sunda berpindah-pindah. “Karena berpindah-pindah jadi tidak punya waktu membangun candi besar. Di Jateng dan Jatim masyarakatnya petani sawah, sehingga cukup punya waktu membangun bangunan monumental,” tuturnya. Pajajaran Bukan Nama Kerajaan Kerajaan Sunda yang paling dikenal masyarakat Sunda adalah Pajajaran. Namun, Pajajaran bukanlah nama sebuah kerajaan. Sebab, nama kerajaan yang sebenarnya adalah kerajaan Sunda. Prof. Nina menjelaskan, Pajajaran adalah ibu kota atau pusat kekuasaan kerajaan Sunda selama masa Sri Baduga Maharaja, atau Prabu Siliwangi, yaitu Pakwan Pajajaran. Pakwan Pajajaran terletak di wilayah Kota Bogor, saat ini. “Ada teori yang dikemukakan Robert von Heine-Geldern, kerajaan di Asia Tenggara umumnya disebut dengan nama ibu kotanya,” kata Prof. Nina. Dalam kepercayaan mereka, ibu kota kerajaan diyakini sebagai pusat mikrokosmos. Cukup dengan menyebut nama mikrokosmos, berarti sudah menyebut seluruh wilayah kerajaan. “Itu sebabnya yang beken sekarang itu Pajajaran, padahal yang betul kerajaan Sunda. Itulah kita harus berpegang pada sumber primer,” ujar Prof. Nina. Toleransi Sumber primer diyakini para ahli sebagai bukti otentik yang bisa menjadi referensi suatu sejarah. Hal ini juga bisa menjadi rujukan dari beragam perdebatan yang muncul dari proses interpretasi sejarah. Kerajaan Sunda sendiri tidak lepas dari adanya perdebatan. Salah satunya mengenai kepercayaan Prabu Siliwangi. Prof. Nina menjelaskan, kepercayaan Sri Baduga Maharaja termaktub dalam Prasasti Batu Tulis yang didirikan Prabu Surawisesa, 12 tahun setelah kematian Sri Baduga Maharaja. Dalam prasasti itu, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja, ayah dari Prabu Surawisesa, meninggal pada 1521. Jenazahnya kemudian diperabukan. “Kenapa diperabukan, karena dia beragama Hindu,” ujar Prof. Nina. Berbekal informasi dari sumber primer, jelas disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja meninggal dalam keadaan beragama Hindu. meskipun ada bukti sekunder yang menerangkan bahwa Prabu Siliwangi beragama Islam. Menjelang akhir usianya, mulai banyak pendatang yang menetap di Tatar Sunda. Para pendatang tidak hanya beragama Hindu, tetapi ada pula yang beragama Buddha dan Islam. Prof. Nina memaparkan, beragamnya kebudayaan dan agama di tatar Sunda membuktikan bahwa kerajaan Sunda memiliki toleransi yang tinggi. Bahkan, penyebaran Islam di tatar Sunda sudah berlangsung sejak abad ke-14.*
Kerajaan Sunda Pajajaran merupakan kerajaan Hindu-Buddha yang terletak di Jawa Barat. Kerajaan Sunda Pajajaran berdiri pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi. Wilayah kerajaan Sunda Pajajaran meliputi wilayah barat pulau Jawa seperti Banten, Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor.. Sumber sejarah yang mencatat keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran adalah Carita Parahyangan. Kerajaan Sunda berdiri pada tahun 669 Masehi. Kerajaan yang memiliki nama lain Pasundan dan Pakuan Pajajaran ini meliputi wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah. Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Keruntuhan kerajaan ini dipicu oleh berbagai hal antara lain karena serangan yang dilancarkan oleh Kesultanan Banten, selain itu setelah mangkatnya Prabu Siliwangi tidak ada pemimpin penerus yang memiliki kemampuan seperti dirinya. Artikel ini mengulas sejarah Kerajaan Sunda dari awal berdiri hingga berbagai prasasti peninggalannya. Sejarah lahirnya Kerajaan Sunda1. Akhir dari Kerajaan Tarumanegara2. Bersatunya Kerajaan Sunda dan Kerajaan GaluhLetak geografis dan wilayah kekuasaanMengenal Kerajaan Sunda lebih dalam1. Kehidupan politik dan militer2. Kehidupan ekonomi3. Kehidupan sosial dan budayaSilsilah rajaMasa kejayaanTragedi BubatRuntuhnya Sang Pakuan PajajaranPeninggalan dan sumber sejarah1. Prasasti Batu Tulis2. Prasasti Huludayeuh3. Prasasti Ulubelu4. Prasasti Cikapundung5. Prasasti Pasir Datar6. Prasasti Kebon Kopi II7. Padrao Sunda Kelapa8. Karangmulyan9. Catatan sejarahMisteri Kerajaan Sunda1. Langkanya peninggalan candi yang ditemukan2. Macan dan Prabu Siliwangi Sejarah lahirnya Kerajaan Sunda Ilustrasi Kerajaan Sunda. Sumber 1. Akhir dari Kerajaan Tarumanegara Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda memiliki hubungan yang dekat. Menurut Naskah Wangsakerta, Kerajaan Tarumanegara menaklukkan daerah Sunda Pajajaran sekitar Sungai Cipakancilan, Bogor dan menjadikannya sebagai bawahan. Kerajaan Tarumanegara yang berdiri tahun 358 Masehi lebih dulu membesarkan kerajaannya. Tarusbawa, sang pemimpin Sunda menikahi putri sulung raja Tarumanegara, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi, yang bernama Dewi Manasih. Tarusbawa menjadi menantu raja dan mendapatkan peran dalam pemerintahan Kerajaan Tarumanegara. Raja Linggawarman yang baru saja menduduki tahta raja selama tiga tahun jatuh sakit dan meninggal pada 669 Masehi. Posisi kepala pemerintahan diberikan kepada Tarusbawa dan Tarumanegara digantikan oleh Kerajaan Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka 18 Mei 669 Masehi. Pada saat ini, Kerajaan Galuh yang semulanya berada di bawah Tarumanegara melepaskan diri dan membentuk pemerintahannya sendiri. Tarusbawa yang ingin melanjutkan amanah mertuanya menyetujui hal tersebut dan mulai membagi wilayah kekuasaan. Sungai Citarum menjadi pembagi kedua wilayah. Sebelah barat sungai untuk Sunda dan sebelah timur sungai untuk Galuh. 2. Bersatunya Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh Sebelum pemerintahan Tarusbawa berakhir, cucunya yang bernama Nay Sekarkancana dinikahkan dengan Rahyang Sanjaya dari Galuh. Kondisi Kerajaan Galuh pada tahun 716 Masehi mengalami gejolak. Raja ketiga Galuh, Sena, dikudeta oleh Purbasora yang juga merupakan saudara tirinya. Alhasil Tarusbawa bersama Sanjaya melakukan penyerangan untuk merebut kembali kekuasaan Galuh. Setelah sukses meraih kemenangan, Sanjaya menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh di bawah pimpinannya. Bersatunya Kerajaan Sunda-Galuh tidak bertahan lama. Anak Sanjaya, Rakeyan Panaraban, membagi kedua kerajaan kembali kepada kedua anaknya, Sang Manarah atau yang biasa disebut Ciung Wanara dalam cerita rakyat dan Sang Bang atau dikenal dengan Hariang Banga, untuk menghindari perebutan kekuasaan. Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di Sunda. Ratusan tahun berlalu dan kedua kerajaan tetap bertahan melampaui waktu. Konflik demi konflik muncul namun berhasil diselesaikan. Titik puncak Kerajaan Sunda dan Galuh berada pada era kemunduran Kerajaan Majapahit. Sekitar tahun 1400-an Masehi, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, anggota keluarga kerajaan dan segenap rakyatnya mengungsi ke Kawali, ibukota Galuh sekarang sekitar Kuningan, Jawa Barat. Galuh yang waktu itu dipimpin oleh Dewa Niskala dengan senang hati menerima mereka. Bahkan menjodohkan salah satu putrinya dengan kerabat Prabu Kertabumi. Ia juga mempersunting dari salah satu pengungsi. Di sisi lain, Sunda yang kala itu dipimpin oleh Susuktunggal tidak terima dengan pernikahan antara orang Sunda-Galuh dengan Majapahit mengingat perjanjian yang dibuat akibat peristiwa Bubat. Dewa Niskala bersedia menghapuskan aturan dan tradisi sedangkan Susuktunggal teguh menetapkannya. Lantas kedua kerajaan damai tersebut malah berperang. Demi kebaikan kedua pihak, penasihat-penasihat kedua kerajaan menyarankan untuk menunjuk penguasa baru dan kedua raja tahta. Mereka bersedia dengan jalan damai dan menunjuk Jayadewata atau lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi adalah putra Dewa Niskala yang menikahi Ambet Kasih, putri Susuktunggal. Setelah naik menjadi raja, Prabu Siliwangi bergelar Sri Baduga Maharaja. Pada tahun 1482, ia memutuskan untuk menyatukan kembali kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran. Letak geografis dan wilayah kekuasaan Wilayah kekuasaan Sunda pada masa kejayaannya. Sumber Wilayah Sunda sewaktu masih menjadi bawahan Tarumanegara berada di hulu sungai Cipakancilan, sekitar Bogor sekarang. Kemudian setelah mendirikan Kerajaan Sunda, kerajaannya berlokasi di sebelah barat Sungai Citarum yang menjadi batas geografis dengan Kerajaan Galuh. Pusat kerajaannya pada masa awal berada di Parahyangan Sunda atau Priangan sekitar utara dari Bandung. Sedangkan Galuh beribukota di Kawali sekitar Kuningan. Kerajaan Sunda meluaskan wilayahnya ke arah barat dan selatan Jawa Barat mencakup Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bandung. Sedangkan Kerajaan Galuh ke arah timur dan utara yang meliputi Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Sumedang. Ketika mencapai masa emasnya, Kerajaan Sunda berhasil mengepakkan sayapnya hingga ke Banten dan Lampung. Di situlah ia menamakan lautan yang memisahkan kedua pulau dengan nama Selat Sunda. Sejauh ini ia berhasil menaungi hampir setengah dari Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, setelah menyatukan kembali kedua kerajaan, ibukota dipindahkan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran sekarang Bogor. Pakuan sendiri memiliki arti kota dalam Bahasa Sunda kuno. Letak geografis Kerajaan Sunda yang berpusat di daerah lereng gunung membuatnya maju di bidang perkebunan dan pertanian. Dialiri banyak sungai sehingga akses transportasi juga menggunakan kapal. Di sisi militer, menguntungkan kerajaan karena bisa menggunakan gunung sebagai kekuatan alami untuk menahan musuh yang datang dari bawah atau dataran rendah. Mengenal Kerajaan Sunda lebih dalam Setelah berkilas balik tentang berdirinya kerajaan di tanah Sunda, mari kita mengintip bagaimana kehidupan dalam berbagai aspek di Kerajaan Sunda. 1. Kehidupan politik dan militer Pemerintahan era lampau tidak lepas dari kata kerajaan. Sebuah kerajaan umumnya dipimpin oleh seorang raja dan menerapkan sistem patriarki yang kuat, sistem di mana laki-laki adalah pemegang kekuasaan dan memiliki peran politik utama. Kerajaan Sunda dipimpin oleh raja-rajanya. Apabila raja memiliki keturunan laki-laki maka otomatis dinaikkan menjadi penerus selanjutnya. Jika tidak memiliki anak laki-laki, biasanya akan diberikan kepada kerabat atau suami dari anak perempuannya. Raja-raja tidak hanya berdiri sendiri. Ia membutuhkan bantuan dari dewan penasihat, panglima perang, dan prajuritnya untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Mereka tidak setara, raja masih di atas mereka semua, namun saran dan perkataannya berpengaruh bagi raja. Berdasarkan sumber-sumber sejarah, Kerajaan Sunda memiliki undang-undang tentang pemungutan upeti untuk menghindari penyelewengan dalam proses berjalannya dari para petugas. Di bidang militer, Kerajaan Pakuan Pajajaran ini terkenal dengan reputasinya untuk menahan serangan dengan baik. Dibuktikan dengan kegagalan Kerajaan Majapahit untuk menguasai bumi Sunda. Hal ini dikarenakan setelah terjadinya peristiwa Bubat, para pemimpin setelahnya menggencarkan kekuatan militer dengan menambah pasukan dari golongan pemuda dan cakap membuat strategi perang. 2. Kehidupan ekonomi Rakyat Sunda mayoritas hidup sebagai petani, peternak, pekebun, dan pedagang. Mengingat kondisi geografis wilayah Sunda yang banyak bermukim di lereng gunung, hasil pertaniannya meliputi teh, lada, beras, asam Jawa, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Untuk bidang ternak, banyak yang memelihara sapi, babi, kambing, dan biri-biri. Selain di sektor agribisnis, beberapa rakyat juga memiliki pekerjaan sebagai pelukis, pande mas pengrajin emas, pande dang pembuat alat-alat rumah tangga, dan nelayan. Perdagangan biasanya dilakukan di pasar dan pelabuhan di sungai-sungai. Selama masa hidupnya Sunda, terdapat enam pelabuhan utama yaitu Banten, Cigede, Tomgara, Pontang, Sunda Kalapa, dan Cimanuk sekarang Pamanukan. Masing-masing pelabuhan dikepalai oleh Syahbandar yang diutus oleh raja untuk mengatur jalannya perdagangan dan akses transportasi. 3. Kehidupan sosial dan budaya Kehidupan bersosial dalam Kerajaan Sunda tidak lepas dari penggolongan sosial. Mereka terbagi menjadi empat kelompok, yakni kelompok rohani atau agama, cendikiawan, aparat kerajaan, dan ekonomi. Kelompok rohani meliputi brahmana, pratanda, dan janggan yang mengetahui tentang ritual pemujaan, berbagai macam mantra, dan kehidupan keagamaan. Kelompok cendikiwan adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual seperti memen yang tahu banyak cerita, paraguna yang tahu banyak lagu dan nyanyian, serta prepatun yang tahu banyak pantun. Aparat kerajaan adalah mereka yang bertugas di pemerintahan, misalnya prajurit, hulu jurit semacam panglima perang, dan bhayangkara semacam polisi. Terakhir, mereka yang hidup di sektor ekonomi seperti petani, peternak, pedagang, nelayan, dan lain-lain. Dari segi kebudayaan, kerajaan satu ini melahirkan budaya Sunda yang sampai sekarang ada mulai dari bahasa, aksara, tari-tarian, dan musiknya. Kebudayaan ini awalnya merupakan percampuran dari budaya Hindu dengan budaya leluhur. Agama Hindu menjadi agama yang dianuti dan dipraktikkan dalam berkehidupan di kerajaan. Sunda juga gemar untuk meninggalkan prasasti sebagai bukti atas suatu peristiwa atau cerita. Silsilah raja Menurut Naskah Pangeran Wangsakerta, inilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda dari tahun ke tahun. Tarusbawa menantu Linggawarman, 669-723 Sanjaya atau Harisdarma menantu Tarusbawa, 723-732 Tamperan Barmawijaya 732-739 Rakeyan Banga atau Hariang Banga 739-766 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783 Prabu Gilingwesi menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783- -795 Pucukbumi Darmeswara menantu Prabu Gilingwesi, 795-819 Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon 819-891 Prabu Darmaraksa adik ipar Rakeyan Wuwus, 891-895 Windusakti Prabu DĂ©wageng 895-913 Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916 Rakeyan Jayagiri menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916-942 Atmayadarma Hariwangsa 942-954 Limbur Kancana putra Rakeyan Kamuning Gading, 954-964 Munding Ganawirya 964-973 Rakeyan Wulung Gadung 973-989 BrajawisĂ©sa 989-1012 DĂ©wa Sanghyang 1012-1019 Sanghyang Ageng 1019-1030 Sri Jayabupati atau Detya Maharaja 1030-1042 Darmaraja atau Sang MoktĂ©ng Winduraja 1042-1065 Langlangbumi atau Sang MoktĂ©ng Kerta 1065-1155 Rakeyan Jayagiri Prabu MĂ©nakluhur 1155-1157 Darmakusuma atau Sang MoktĂ©ng Winduraja 1157-1175 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297 Ragasuci atau Sang MoktĂ©ng Taman 1297-1303 Citraganda atau Sang MoktĂ©ng Tanjung 1303-1311 Prabu LinggadĂ©wata 1311-1333 Prabu Ajiguna LinggawisĂ©sa 1333-1340 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350 Prabu Maharaja LinggabuanawisĂ©sa 1350-1357 Prabu Bunisora 1357-1371 Prabu Niskala Wastukancana 1371-1475 Prabu Susuktunggal 1475-1482 JayadĂ©wata atau Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja menantu Prabu Susuktunggal, 1482-1521 Prabu SurawisĂ©sa 1521-1535 Prabu DĂ©watabuanawisĂ©sa 1535-1543 Prabu Sakti 1543-1551 Prabu NilakĂ©ndra 1551-1567 Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana 1567-1579 Masa kejayaan Dari seluruh raja yang telah disebutkan sebelumya, masa emas Kerajaan Sunda terjadi pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Ceritanya yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi masih dibangga-banggakan sampai sekarang. Pertama, ia membuktikan dalam bentuk fisik. Karena baru saja menyatukan Sunda dan Galuh dengan ibukota Pakuan Pajajaran, tata kota dan wilayah kerajaan harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kehidupan kerajaan dan rakyatnya. Jayadewata membangun jalan dari Pakuan Pajajaran sampai ke Wanagiri sekarang Wonogiri, membuat telaga besar yang dinamakan Maharena Wijaya untuk sumber air baru, membuat pamingtonan semacam tempat hiburan dan pagelaran, serta membuat kabinihajian atau kaputren semacam tempat tinggal untuk para putri dan prajurit. Tak lupa juga ia membangun sarana dan prasarana keagamaan dan spiritual untuk mendorong masyarakat melakukan kegiatan keagamaan bersama-sama. Benteng-benteng yang sudah ada juga diperkokoh lagi olehnya. Dari segi hukum ia menetapkan undang-undang untuk mengatur kehidupan kerajaan dan masyarakat, terutama untuk urusan pemungutan upeti. Sektor ekonomi juga maju karena memaksimalkan kekuatan perdagangan jalur air dengan pelabuhannya. Wilayah juga berhasil diperluas hingga ke Lampung di Pulau Sumatera. Kedaulatan kerajaan masih dipertahankan meskipun adanya ancaman dari Kerajaan Majapahit. Tragedi Bubat Ilustrasi Perang Bubat dari Peristiwa Bubat, peristiwa besar yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Ini terjadi pada masa pemerintahan Prabu Maharaja Linggabuana. Kala itu, Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit jatuh hati pada lukisan putri Linggabuana, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ia ingin mempersunting Dyah Pitaloka sekaligus mempererat hubungan kedua kerajaan dengan ikatan pernikahannya. Nyatanya, Raden Wijaya sang pendiri Majapahit adalah keturunan Sunda karena ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma, raja Sunda. Dengan niat kebaikan tersebut Hayam Wuruk mengirimkan undangan ke Sunda. Sesampainya surat lamaran tersebut, dewan penasihat keberatan dengan permintaannya karena pada masa itu, tidak lazim bagi perempuan untuk mendatangi pihak laki-laki. Mereka juga menduga bahwa ini adalah jebakan untuk bisa menaklukkan Sunda. Tetapi, Linggabuana memutuskan untuk berangkat ke Majapahit atas dasar ikatan persaudaraan leluhur. Rombongan Sunda berangkat membawa sang raja, permaisuri, putri Dyah Pitaloka, beberapa kerabat kerajaan, dan prajurit secukupnya. Setibanya di Majapahit, rombongan Sunda ditempatkan di Pesanggrahan Bubat Jawa Timur. Di sinilah tragedi tragis akan terjadi. Mahapatih Majapahit, Gajah Mada yang menjunjung tinggi Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara di bawah kuasa Majapahit, melihat ini sebagai bentuk tunduknya Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada bahkan menekan Hayam Wuruk untuk mengubah niatnya dari mengeratkan ikatan diplomatis menjadi pengakuan superioritas Majapahit. Berita ini sampai ke telinga Linggabuana dan tidak terima atas perlakuan Gajah Mada. Namun, tanpa seizin Hayam Wuruk, Gajah Mada melakukan penyerangan dengan pasukan yang berjumlah besar. Tak mundur dari perang, Linggabuana maju ke medan tempur walaupun pasukannya sangat kalah jumlah. Alhasil, hampir semua rombongan Sunda tewas di Lapangan Bubat termasuk sang raja. Mereka yang masih hidup hanya terdiri dari perempuan. Dyah Pitaloka tak sanggup menerima kenyataan dan memutuskan untuk mencabut nyawanya sendiri. Perempuan lain juga mengikuti aksi Dyah Pitaloka. Setelah perang Bubat, hubungan Majapahit dan Sunda rusak. Pemerintahan dilanjutkan oleh Prabu Niskala Wastu Kancana, putra Linggabuana dan adik Dyah Pitaloka. Kemudian diberlakukan hukum larangan estri ti luaran, yang berarti larangan untuk menikah dengan orang di luar Sunda. Dan sampai sekarang masih ada yang menerapkan peraturan tersebut di keluarganya orang Sunda dilarang untuk menikah dengan orang Jawa. Runtuhnya Sang Pakuan Pajajaran Kita sudah sampai di penghujung cerita Kerajaan Sunda. Layaknya hidup pasti akan sirna dan mati. Kerajaan Sunda Pajajaran setelah pemerintahan Prabu Siliwangi tidak mendapatkan pemimpin yang secakap dirinya. Ditambah lagi serangan Kesultanan Banten yang menggempur Pakuan Pajajaran. Pasukan Islam Banten mengambil singgasana raja yang disebut Palangka Sriman Sriwicana dan membawanya ke hadapan Maulana Yusuf. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada raja lagi yang bisa dinobatkan untuk Kerajaan Pajajaran. Ialah yang akan menjadi penguasa untuk wilayah-wilayah Sunda karena dirinya juga adalah canggah keturunan keempat dari Sri Baduga Maharaja. Dan di sinilah akhir dari sejarah Kerajaan Sunda sekitar tahun 1579. Sisa-sisa anggota kerabat kerajaan menetap di Lebak dan hidup dengan mandala yang ketat. Kelanjutan dari anggota istana ini adalah terlahirnya Suku Baduy. Peninggalan dan sumber sejarah Bukti-bukti sejarah yang sudah ditemukan sekarang tentang Kerajaan Sunda tidak begitu banyak. Peninggalannya meliputi prasasti, situs sejarah, dan catatan atau naskah sejarah. Di antaranya sebagai berikut. 1. Prasasti Batu Tulis Prasasti Batu Tulis. Sumber Prasasti yang ditemukan di Batu Tulis, Bogor, adalah salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Sunda yang ditulis pada batu terasit, batu yang umum ditemukan di Sungai Cisadane. Ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Pembuatnya tak lain adalah Prabu Surawisesa, putra Prabu Siliwangi. Ia menuliskan jasa-jasa ayahnya serta penyesalannya karena tidak bisa mempertahankan Sunda dari serangan Kesultanan Banten dan Cirebon. 2. Prasasti Huludayeuh Prasasti Huludayeuh. Sumber Prasasti ini ditemukan di Huludayeuh, Cirebon dan ditulis dalam Bahasa Sunda kuno. Sayangnya, prasasti ini ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Setelah lama dicari dan terkumpul, tulisan-tulisannya juga sudah tidak dapat diterjemahkan. Garis besar isi prasasti ini adalah usaha Sri Maharaja Ratu Haji memakmurkan kerajaan di Pakuan Pajajaran. 3. Prasasti Ulubelu Prasasti Ulubelu. Sumber Bukti bahwa wilayah kekuasaan Sunda telah mencapai Lampung ada pada prasasti ini karena ditemukan di Ulubelu, Tanggamus, Lampung. Dikatakan peninggalan Sunda karena ditulis dengan aksara Sunda kuno. Isi prasastinya adalah doa permintaan tolong kepada dewa-dewa Hindu, seperti Siwa, Brahma, dan Wisnu. Mereka berdoa kepada dewa untuk menjaga keselamatan dan keamanan kerajaan dari musuh. 4. Prasasti Cikapundung Prasasti Cikapundung. Sumber Ditemukan di Cikapundung, Ujungberung, prasasti ini tidak hanya dituliskan dengan aksara Sunda Kuno, tetapi juga memuat gambar wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Isi dari Prasasti Cikapundung adalah pernyataan bahwa setiap manusia di muka bumi dapat mengalami kejadian apapun baik itu suka maupun duka, terbukti dalam kalimat unggal jagat jalmah hendap semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu yang terdapat di prasasti. 5. Prasasti Pasir Datar Prasasti Pasir Datar. Sumber Lucunya, prasasti ini ditemukan di kebun kopi di Pasir Datar, Sukabumi. Terbuat dari batu alam dan merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sunda yang misterius karena sampai sekarang belum ada terjemahan dari prasasti ini. 6. Prasasti Kebon Kopi II Prasasti Kebon Kopi II. Sumber Ketika menebang hutan untuk lahan kebun kopi, prasasti ini dengan tidak sengaja ditemukan. Terletak di Pasir Muara, Bogor, dan berdekatan dengan Prasasti Kebon Kopi I. Ini menjadi peninggalan Sunda karena berisi tentang Rakeyan Jayagiri yang menduduki tahta sebagai raja Sunda. Prasasti ini diukir sekitar tahun 932 Masehi. Sedangkan Prasasti Kebon Kopi I menjadi peninggalan Tarumanegara karena terdapat telapak kaki gajah tunggangan Purnawarman yang merupakan raja Tarumanegara. 7. Padrao Sunda Kelapa Padrao Sunda Kelapa. Sumber Kerajaan Sunda juga menjadi saksi kedatangan Bangsa Eropa ke nusantara, khususnya Pulau Jawa. Sebuah perjanjian dibuat antara Portugis dengan Sunda yang ditandai dengan padrao tugu batu. Enrique Leme dari Portugis dan Prabu Surawisesa dari Sunda yang menjadi saksi perjanjian tersebut. Isi dari padrao adalah izin untuk membangun benteng dan gudang perdagangan bagi Portugis. Tempat membangunnya adalah tempat padrao ini dibuat, yakni di Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. 8. Karangmulyan Situs Karangmulyan. Sumber Kawasan ini dijadikan cagar budaya oleh pemerintah sekarang. Terletak di Cijeungjing, Ciamis, situs sejarah ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh sewaktu dipimpin oleh Ciung Wanara yang juga keturunan Sunda. Kehidupan pernah berlangsung di sini sejak abad sembilan dibuktikan dengan penemuan keramik Dinasti Ming. 9. Catatan sejarah Cerita sejarah Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran dapat dilacak dari catatan sejarah yang dibuat oleh orang-orang pada masa kerajaan dan sumber-sumber asing. Di antaranya adalah Naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, Sajarah Banten, Wangsakerta, Kitab Kidung Sundayana, serta berita asing dari Tome Pires tahun 1513 dan Pigafetta tahun 1522. Sayangnya pengarang naskah-naskah yang dibuat oleh rakyat Sunda tidak diketahui sampai sekarang. Misteri Kerajaan Sunda 1. Langkanya peninggalan candi yang ditemukan Meski banyak bukti yang ditemukan tentang kehidupan dan keberadaan Kerajaan Sunda, masih ada hal yang mengganjal tentang kerajaan satu ini. Sejauh ini, sangat jarang ditemukan candi-candi peninggalan Kerajaan Sunda. Padahal, kehidupan keagamaannya dapat dikatakan taat dan kental dengan ajaran Hindu. Kemungkinan besar hal ini diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat yang sering berpindah tempat atau nomaden. Ketika ladang sudah tidak maksimal lagi untuk bertani, maka mereka akan pindah mencari tempat baru sehingga bangunan permanen kadang tidak banyak berdiri seperti keraton. 2. Macan dan Prabu Siliwangi Ilustrasi Prabu Siliwangi dan macan. Sumber Raja yang membawa Sunda mencapai kejayaannya ini juga turut memberikan misteri. Macan atau dalam Bahasa Sunda maung sering dikaitkan dengan sang prabu karena cerita legenda menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar musuh dari Banten dan Cirebon. Ia meninggalkan wangsit untuk Kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut. Ia berkata, “lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung” jika aku sudah tidak menemanimu, lihatlah tingkah laku macan atau harimau. Perkataan tersebut semakin dipercaya bahwa Jayadewata memiliki kekuatan untuk menghilang dan menjelma menjadi macan oleh masyarakat. Untungnya, setelah dilakukan penelitian, kata-kata tersebut mengartikan bahwa jika sang prabu sudah tiada maka lihatlah sifat dan karakteristik macan untuk memimpin Sunda. Macan dideskripsikan sebagai binatang yang tegas, berani, tetapi juga sayang dengan keluarganya. Yang menjadi ganjal adalah, kita tidak pernah tahu apakah Prabu Siliwangi benar-benar menghilang dan menjadi macan lalu kembali setelah berhari-hari menghilang. Sekian cerita tentang kerajaan yang bertahan beratus tahun di tanah Sunda ini. Jangan lupa untuk sebarkan tuliskan ini jika bermanfaat. Terima kasih banyak. KerajaanSunda (bahasa Sunda: Ἂ (ka) Ἓ (ra) Ἇ (ja) ៃ (a) ἔáźȘ (n) áźžáź„ (su) ἔáźȘ (n) ἓ (da), pengucapan bahasa Sunda: ) adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (sekarang bagian dari Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian wilayah Provinsi Jawa Tengah sekarang). Kerajaan ini juga pernah menguasai wilayah bagian

Diwilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Dalam prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Kitab Carita Parahyangan dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke gunung Merapi beserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya, Rahyang Tamperan. Sampai sekarang, para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya didalam prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya didalam Kitab Carita waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke 11 1030 ketika dibawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Bhupati terdapat pada prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang ditepi sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini berangka tahun 952 Saka 1030 M, berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Maharaja Sri Bhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwana Mandalesrananindhita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sanghyang Tapak juga berisi pembuatan daerah terlarangan disebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah ini berupa sebagian dari sungai yang ditandai dengan batu besar dibagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Didaerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Orang yang terkena kutukan sangat mengerikan karena akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidak gelar yang digunakannya menunjukkan ada kesamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa diantara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Demikian jelas bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan masa pemerintahan Sri Jayabhupati, pusar kerajaan Sunda adalah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi, tidak lama kemudian pusat kerajaannya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat dengan Galuh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Haisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya, yaitu Wisnumurti, agama yang sama dianut oleh Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di Kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh raja Majapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda beserta para pengiringnya datang ke Majapahit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda makhluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksakan kehendaknya, sebab kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti, sumpah palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajahmada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama putrinya Dyah Pitaloka dan pengiringnya terbunuh. Kematian raja Sunda dan calon istrinya membuat Raja Hayam Wuruk marah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Mahapatih Majapahit. Sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Nsikala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi perang Bubat, Wastukancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit sehingga selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastukancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357 – 1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai dengan undang-undang dan taat pada agamanya. Oleh karena itu, kerajaannya aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371 – 1471.Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471 – 1478. Setelah itu, kerajaan Sunda berada dibawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482 – 1521. Pada prasasti kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batu Tulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Dibawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit disekeliling ibu kota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tentram dan Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada dibawah kekuasaan tahun 1522, perutusan Portugis dibawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada dibawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahli sama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521 – 1535. Jika hal itu benar maka pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa masih menjadi putra masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentara Islam berusaha merebut ibukota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu per satu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten sehingga Raja Sunda terpaksa bertahan di Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535 – 1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan Kitab Puwaka Caruban Nagari yang berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut, dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Dewata kemudian diganti oleh Sang Ratu Saksi 1543 – 1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551 – 1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir kerajaan Sunda adalah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Sosial EkonomiBerdasarkan Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai rohani dan cendekiawanKelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan dibidang tertentu. Misalnya, Brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, Janggan yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita aparat pemerintahKelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya Bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, dan hulu jurit kepala prajurit.Kelompok ekonomiKelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan.Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapat perhatian. Meskipun pusat kekuasaan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya pahuma peladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini merupakan salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan bertani, kehidupan masyarakat kerajaan Sunda juga berdagang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya enam buah kota bandar yang cukup penting dan ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai daerah atau bangsa lain. Melalui ke enam bandar tersebut, dilakukan usaha perdagangan dengan pihak BudayaKehidupan masyarakat kerajaan Sunda adalah peladang sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi, dan prasasti. Candi yang paling dikenal dari kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa budaya masyarakat kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tertulis maupun lisan. Bentuk sastra tertulis misalnya kitab Carita Parahyangan, sedangkan bentuk sastra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Dwi Ari. 2009. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Indonesia Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Kehidupan Politik Keraja - Sunda: Pulitik, Sosial, Ékonomi jeung Budaya Kahirupan Pulitik Kara Kerajaan Pajajaran – Sejarah dalam berdirinya kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan yang bercorak Hindu. Kerajaan tersebut diperkirakan didirikan pada sekitar tahun 923 oleh Sri Jayabhupati. Di mana letak Kerajaan Pajajaran? Kerajaan ini terletak di wilayah Parahyangan Sunda. Lalu bagaimana dengan cerita sejarah, dari mulai masa kejayaan, masa runtuhnya, cerita kehidupan, silsilah raja beserta peninggalannya? Simak penjelasan berikut ini! Sejarah Kerajaan Pajajaran Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan yang tercatat oleh Tom Peres pada tahun 1513 M dalam The Suma Oriental. Kerajaan ini merupakan kerajaan yang terletak di Parahyangan Sunda dan Pakuan yang menjadi ibu kota Sunda. Sejarah Kerajaan Pajajaran Sesuai yang tulisan yang ada di The Suma Oriental, bahwa ibu kota dari Sunda mempunyai sebutan dengan Dayo atau Dayeuh. Kerajaan Pajajaran merupakan lanjutan dari Kerajaan-kerajaan terdahulu, yang meliputi Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan juga ada Kerajaan Kawali. Pada sekitar tahun 1400-an, kondisi Majapahit semakin lemah dan banyaknya pemberontakan dan juga perebutan kekuasaan antara saudara kerap terjadi. Hingga pada saat Prabu Kertabumi terjatuh Brawijaya V, banyak para pengungsi yang menuju ke ibu kota Kerajaan Galuh yang berada di wilayah Kawali, Kuningan, Jawa Barat. Pengungsi tersebut merupakan kerabat dari Kerajaan Majapahit. Pada saat itu Raden Baribin diterima dengan tangan terbuka oleh Raja Dewa Niskala. Raden Baribin merupakan saudara dari Prabu Kertabumi ia juga telah menikah dengan Ratna Ayu Kirana yang merupakan salah satu putri dari Raja Dewa Niskala. Bulan hanya itu, ternyata Raja juga menikah dengan salah satu rombongan Raden Baribin yang ikut mengungsi. Tetapi dengan adanya pernikahan tersebut Raja Susuktunggal, raja yang berasal dari Kerajaan Sunda tidak terima. Ia menganggap bahwa Dewa Niskala sudah melanggar peraturan, dimana aturan tersebut sudah dibuat sejak peristiwa Bubat. Peraturan tersebut berisikan “Jika orang Sunda-Galuh tidak boleh dan dilarang menikah dengan orang yang berasal dari keturunan Majapahit”. Sehingga peperangan hampir akan terjadi dengan dua raja yang merupakan besan tersebut. Penyebab peperangan tidak terjadi adalah karena dewan penasehat berhasil mendamaikan kedua raja tersebut, yakni dengan keputusan terakhir jika kedua raja harus turun tahta mereka dan mereka berdua harus bersedia menyerahkan tahta mereka pada putera yang sudah dipilih. Pada saat itu Dewa Niskala memilih Jayadewa yang merupakan anaknya, untuk meneruskan kekuasaannya. Sedangkan untuk Prabu Susuktunggal ia juga memilih orang yang sama. Sehingga hasil akhirnya ialah Jayadewa berhasil mempersatukan kedua kerajaan tersebut. Jayadewa mulai memerintah pada sekitar tahun 1482 dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Masa Kejayaan Kerajaan Pajajaran Masa Kejayaan Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan pada saat masa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja atau Sri Siliwangi. Ia dikenal sebagai seorang raja yang tidak pernah punah dan selalu hidup di hati secara abadi dan pikiran para Masyarakat Jawa Barat. Hal ini dikarenakan Maharaja tersebut membangun sebuah karya besar yang diberi nama Maharena Wijaya. Tidak hanya itu, Maharaja juga membuat jalan yang digunakan untuk menuju ibukota Pakuan dan Wanagiri. Pertahanan ibu kota yang diperkuat serta memberikan desa yang perdikan untuk semua pendeta dan pengikutnya, sehingga hal tersebut dapat menyemangati kegiatan beragama dan menjadi pemimpin kehidupan para rakyat. Sri Baduga Maharaja juga memberikan perintah untuk membangun antara lain adalah sebagai berikut. Kabinihajian atau Kaputren, Kesatriaan atau Asrama Prajurit, menambah kekuatan angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari para raja yang berada di bawahnya dan menyusun undang-undang kerajaan. Dari segi pembangunan bisa dilihat dalam prasasti Kebantenan dan juga Batutulis. Batutulis tersebut mengisahkan juru pantuin Dan penulis Babad yang masih bisa kita lihat sampai sekarang, tetapi ada beberapa atau sebagian lagi sudah hilang. Runtuhnya Kerajaan Pajajaran Runtuhnya Kerajaan Pada tahun 1579 Kerajaan Pajajaran mengalami masa runtuhnya. Kerajaan tersebut hancur diakibatkan oleh penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Sunda Kesultanan Banten. Kehancuran dari Kerajaan ini ditandai dengan Pindahnya Palangka Sriman Sriwacana atau singgasana raja dari pangkuran Pajajaran ke Keraton Surosowan yang ada di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu yang memiliki besar 200 x 160 x 20 cm tersebut dipindahkan ke wilayah Banten, karena pada saat itu tradisi politiklah yang membuat Pakuan Pajajaran tidak bisa menobatkan Raja baru dan menjadi tanda bahwa Maulana Yusuf merupakan penerus dari Kerajaan Sunda yang sah, hal tersebut dikarenakan buyut perempuannya ada Putri Sri Baduga Maharaja. Singgasana Raja atau Palangka Sriman Sriwacana dapat kita lihat di depan bekas dari Keraton Surosowan yang ada di daerah Banten. Masyarakat disana menyebutnya dengan nama Watu Gilang yang memiliki arti Mengkilap. Setelah persekutuan yang terjadi antara Kesultanan Demak dan Cirebon, ajaran agama Islam juga mulai memasuki wilayah Parahyangan dan hal tersebut menimbulkan keresahan dari Jaya Dewata, sehingga ia membatasi pedagang muslim yang ingin masuk ke Pelabuhan kerajaan Sunda. Hal ini dimaksudkan agar pengaruh islam terhadap pribumi dapat diperkecil. Tetapi hal yang terjadi malah sebaliknya, dimana pengaruh dari agama Islam jauh lebih kuat dari yang dibayangkan. Hal ini menyebabkan Pajajaran berkoalisi dengan Portugis agar bisa mengimbangi Kesultanan Demak dan Cirebon. Pajajaran memberikan kebebasan untuk melakukan perdagangan dengan bebas di Pelabuhan Kerajaan Pajajaran, tetapi dengan imbanlan yakni berupa bantuan militer apabila Kesultanan Demak dan Cirebon melakukan penyerangan. Pada tahun 1524 Kekuasaan Pajajaran resmi jatuh ke tangan Kesultanan Banten, dimana pada saat itu Pasukan Demak yang bergabung dengan Cirebon mendarat di Banten sehingga ajaran Islam yang dibawa oleh para pendatang dapat menarik perhatian masyarakat bahkan sampai ke pedalaman Wahanten Girang. Sesudah berhasil dikalahkan oleh Kesultanan Banten, para punggawa Istana menetap di Lebak dan hidup di pedalaman dengan memakai cara kehidupan mandala yang ketat dan kelompok masyarakat tersebut masih ada hingga sekarang, atau yang biasanya kita kenal sebagai Suku Baduy. Kehidupan Kerajaan Pajajaran Kehidupan yang ada pada masyarakat Kerajaan Pajajaran dibagi menjadi 3 aspek yakni, Aspek Politik, Aspek Ekonomi dan Aspek Sosial dan Budaya. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing aspek yang ada! Kehidupan Politik Kerajaan Pajajaran Kehidupan Politik Sistem pemerintahan yang ada pada kerajaan Pajajaran hanya dapat diketahui oleh beberapa orang raja saja. Berikut ini merupakan bentuk-bentuk sistem pemerintahan dari raja-raja yang memerintah kerajaan Pajajaran! Maharaja Jayabhupati Dalam prasasti ditulis maharaja Jayabhupati menyebut dirinya Haji Ri sunda. Sebutan ini mempunyai tujuan yakni untuk meyakinkan kedudukannya sebagai raja kerajaan Pajajaran. Raja Jayabhupati memeluk agama Hindu beraliran waisnawa. Pusat pemerintahannya diperkirakan berada di wilayah Pakuan Pajajaran yang kemudian dipindahkan ke Kawali. Rahyang Niskala Wastu Kencana. Raja tersebut naik tahta untuk menggantikan raja Maharaja Jayabhupati. Pusat pemerintahannya terletak di wilayah Kawali dan istananya disebut dengan Surawisesa. Rahyang Dewa Niskala Raja Dewa Niskala atau Rahyang Ningrat Kencana adalah raja yang menggantikan Rahyang Niskala Wastu Kencana. Akan tetapi tidak diketahui bagaimana sistem Pemerintahannya. Sri Baduga Maharaja Sri Baduga Maharaja tersebut bertahta di pakuan pajajaran. Pada masa pemerintahannya terjadi pertempuran yang sangat besar, pertempuran tersebut terdapat di dalam kitab Pararaton dan disebut dengan Perang Bubat. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1357 M. Dalam pertempuran itu, semua pasukan pajajaran gugur termasuk dengan raja Sri Baduga sendiri beserta putrinya. Hyang Wuni Sora Raja tersebut berkuasa untuk menggantikan Raja Sri Baduga Maharaja yang telah wafat. Setelah ia berturut-turut digantikan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana 1371-1474 M, Tohaan 1475-1482 M yang berkedudukan di Galuh, Ratu Jay Dewata 1482-1521 M. Ratu Samian atau Prabu Surawisesa Pada masa Pemerintahannya, yakni pada tahun 1512 M dan 1521 M, ia berkunjung ke Malaka dengan tujuan untuk meminta bantuan portugis dalam rangka menghadapi kerajaan demak. Tetapi bantuan yang diharapkan itu ternyata sia-sia. Karena pelabuhan terbesar yang ada di kerajaan pajajaran, yaitu Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh pasukan kerajaan demak dibawah pimpinan Fatahilah. Sehingga mengakibatkan, hubungan Pajajaran dengan dunia luar terputus. Prabu Ratu Dewata 1535-1543 Raja tersebut memerintah untuk menggantikan Prabu Surawisesa. Pada masa pemerintahannya, juga terjadi berbagai serangan dari kerajaan Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanudin, dibantu oleh anaknya Maulana Yusuf. Berkali-kali pasukan Banten Islam berusaha merebut ibukota Pajajaran tahun 1579 M. Peristiwa ini mengakibatkan runtuhnya kerajaan hindu Pajajaran di Jawa Barat. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Pajajaran Kehidupan Ekonomi Masyarakat yang berada di Kerajaan Pajajaran bertahan hidup dengan bercocok tanam, ladang yang menghasilkan beras, buah-buahan, sayuran, lada dan juga pelayaran dan perdagangan. Dimana Kerajaan tersebut mempunyai 6 pelabuhan penting yang terdiri antara lain, Sunda Kelapa yang berada di Jakarta, Pontang, Tamgara, Pelabuhan Banten, Cigede, dan ada juga Cimanuk yang berada di Pamanukan. Melalui peradangan laut, masyarakat dapat melakukan perdagangan dengan daerah atau negara lain. Untuk wilayah peradangan sendiri bisa mencapai pulau Sumatera dan bisa juga sampai dengan pulau Maladewa. Barang yang biasanya dijual belikan ialah barang yang berupa bahan makanan dan juga lada, tetapi yang lebih penting adalah beras. Untuk perdagangan yang ada di jalur darat juga memiliki peran yang penting, dimana jalan darat untuk perdagangan itu berpusat di Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan. Sedangkan jalan yang lainnya yakni menuju Timur dan gang lain menuju ke Barat. Jalan yang menuju ke Timur dapat menghubungkan Pakuan Pajajaran dengan Karang Sambung yang terletak di wilayah tepi Sungai Cimanuk, melalui Cileungsi dan Cibarusa kemudian membelok ke Karawang. Kemudian dari Tanjung Puraini di teruskan ke Cikal dan Purwakarta yang kemudian berakhir di Karang Sambung. Sedangkan Jalan lain yang menuju ke arah Barat, dimulai dari Pakuan Pajajaran melalui Jasinga dan juga Rangkasbitung, menuju Serang yang kemudian berakhir di Banten. Untuk jalan darat lain yang dimulai dari Pakuan Pajajaran menuju Ciampea mulai dari Muara Cianten. Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Pajajaran Kehidupan Sosial Budaya Kehidupan Sosial yang ada di masyarakat Pajajaran yakni berupa seniman, baik itu penari, pemain gamelan atau badut dan juga dari golongan petani dan peradangan. Sedangkan golongan jahat yang dianggap oleh masyarakat yakni berupa, tukang copet, pencuri, maling atau perampas. Sementara untuk Budaya yang ada di kerjaan ini dipengaruhi oleh agama Hindhu. Pengaruh dari agama tersebut dapat dilihat dari peninggalan yang ditinggalkan diantaranya adalah Prasasti, Batuk, kitab cerita dari Parahyangan dan juga terdapat Kitab Sanvyang Siskanda. Silsilah Kerajaan Pajajaran Siapa raja kerajaan pajajaran? Selain pendiri dari Kerajaan Pajajaran yakni Sri Jayabhupati, berikut ini merupakan beberapa raja-raja yang pernah tercatat menjadi pemimpin dari kerajaan. Berikut ini Silsilah Kerajaan Pajajaran ! Sri Baduga Maharaja 1482 – 1521, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Bogor sekarang Surawisesa 1521 – 1535, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Ratu Dewata 1535 – 1543, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Ratu Sakti 1543 – 1551, merupakan raja yang bertahta di Pakuan Ratu Nilakendra 1551-1567, meninggalkan Pakuan karena mendapatkan serangan dari Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf. Raga Mulya 1567 – 1579, raja yang dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang. Peninggalan Kerajaan Pajajaran Kerajaan Pajajaran meninggalkan beberapa peninggalan-peninggalan yang bersejarah dan masih bisa kita lihat sampai sekarang. Peninggalan-peninggalan tersebut antara lain. Contoh Peninggalan Prasasti Prasasti Cikapundung Prasasti ini ditemukan pada tanggal 8 Oktober 2010 oleh masyarakat sekitar. Prasasti tersebut ditemukan di sekitar Sungai Cikapundung, Bandung. Dalam Prasasti tersebut ditemukannya sebuah tulisan Sunda kuno yang diperkirakan berasal dari abad ke-14, bukan hanya itu terdapat juga beberapa gambar. Seperti telapak tangan, wajah, telapak kaki dan 2 baris huruf Sunda Kuno dengan tulisan “Unggal Jagat Jalmah Hendak” yang memiliki arti “Semua manusia di dunia bisa mengalami sesuatu apapun”. Prasasti Huludayeuh Prasasti ini baru diketahui pada bulan September tahun 1991. Prasasti tersebut berada di tengah sawah Kampung Huludayeuh, desa Cikalahang, Kecamatan Sumber. Isi dari prasasti tersebut adalah sebelas baris tulisan dengan berbentuk aksara dan juga bahasa Sunda Kuno. Permukaan dari batu prasasti sudah rusak, karena pada saat penemuan prasasti dalam keadaan yang tidak utuh dan beberapa tulisan yang sudah hilang, sehingga isi dari prasasti tidak dapat terbaca. Tetapi secara garis besar, prasasti tersebut menceritakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Dua Sang Ratu Dewata yang masih berhubungan dengan beberapa usaha utnuk memakmurkan negerinya Prasasti Pasir Datar Prasasti ini ditemukan pada tahun 1872 tepatnya terletak di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi yang sekarang sudah disimpan pada Museum Nasional Jakarta. Prasasti tersebut terbuat dari material batu alam dan isi dari prasasti masih belum bisa diartikan. Prasasti Perjanjian Sunda Portugis. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1918 tepatnya di Jakarta. Prasasti yang berbentuk tugu batu tersebut merupakan tanda perjanjian dari Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Portugis. Prasasti ini ditemukan dengan cara penggalian saat membangun sebuah gudang yang ada di bagian sudut Prinsenstraat yang sekarang menjadi jalan cengkeh dan juga Groenestraat yang sekarang menjadi jalan Kali Besar Timur I dan masuk kedalam wilayah Jakarta Barat. Prasasti Ulubelu Prasasti ini ditemukan pada tahun 1936 tepatnya terletak di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kota agung, Lampung. Isi dari Prasasti ini adalah mantra tentang sebuah permohonan dan juga pertolongan yang akan ditujukan pada para Dewa utama yakni Batara Guru, Wisnu dan juga Brahmana serta Dewa sang penguasa tanah, air dan juga pohon untuk keselamatan dari segala musuh. Situs Karangkamulyan Peninggalan ini berada di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat yang juga merupakan peninggalan dari Kerajaan Galuh Hindu-Buddha. Situs tersebut menceritakan tentang Ciung Wanara yang berkaitan dengan Kerajaan Galuh. Cerita tersebut ke tak dengan kisah dari pahlawan hebat yang mempunyai kesaktian dan juga keperkaasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa, dan hanya dimiliki oleh Ciung Wanara. Prasasti Kebon Kopi II Prasasti tersebut memiliki nama lain yakni Prasasti Pasir Muara yang merupakan peninggalan dari kerajaan Sunda Galuh, dan ditemukan pada sekitar Prasasti Kebon Kopi I. Prasasti ini ditemukan di Kampung Pasir Muara, Desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bigor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada sekitar abad ke -19. Penutup Demikian penjelasan tentang Kerajaan Pajajaran, pembahasan yang dimulai dari sejarah, masa kejayaan dan masa runtuhnya kerajaan, cerita tentang kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu, silsilah raja dan juga peninggalan dari kerajaan Pajajaran. Semoga artikel ini bisa bermanfaat dan bisa menambahkan wawasan buat kalian semua terutama pada bidang sejarah, karena sejarah bukan untuk dilupakan, tapi sejarah untuk dijaga dan dirawat! Kerajaan PajajaranSumber Artikel Padakesempatan kali ini artikel yang kami sajikan mengupas tentang kehidupan sosial - politik kerajaan Pajajaran. Bermula dari kehidupan masyarakat pajajaran pada saat itu yang beragam profesi, hingga raja-raja yang memerintah di kerajaan Pajajaran, puncak keemasan kerajaan Pajajaran sampai keruntuhan kerajaan Pajajaran. Di wilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Dalam Prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung Merapi berserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di Galuh. Beberapa waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya Rahyang Tamperan. Sampai sekarang para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya di dalam Prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya di dalam kitab Carita Parahyangan. a. Kehidupan Politik Dalam waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke-11 1030 ketika di bawah pemerintahan Maharaja SriJayabhupati. Nama Maharaja Sri Jayabhupati terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang di tepi Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952Saka 1030 M, berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Isinya, antara lainmenyebutkan bahwa Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwana Mandalesrananindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sunda. Prasasti Sanghyang Tapak juga berisi pembuatan daerah terlarangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah itu berupa sebagian dari sungai yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa Kerajan Sunda. Di daerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Orang yang terkena kutukan sangat mengerikan karena akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya, mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidakpunah. Berdasarkan gelar yang digunakannya, menunjukkan ada kesamaannya dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu, masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun, Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Dengan demikian jelas bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan Airlangga. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhuptai, pusat Kerajaan Sunda ialah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi, tidak lama kemudian pusat kerajaanya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat denganGaluh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa Sanjaya. Agama yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Waisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya, yaitu Wisnumurti Agama yang sama juga dianut oleh Airlangga. Dengan , ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu Waisnawa. Setelah masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di Kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh RajaMajapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda bersama para pengiringnya datang ke Majaphit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda takhluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksanakan kehendaknya, sebab Kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti, Sumpah Palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, Raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Sunda. Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajah Mada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama putri Dyah Pitaloka dan para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan calon istrinya membuat Raja Hayam Wuruk marah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Mahapatih Majapahit. Sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada retak. Prabu Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Nsikala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi Perang Bubat, Wastukancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit sehingga selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastukancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357–1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai denganundang-undang dan taat pada agamanya. Oleh karena itu, kerajaannya aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371–1471. Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471–1478. Setelah itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482–1521. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batu Tulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra Ningrat Kancana. Di bawahpemerintahan Sang Ratu Jayadewata, Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit di sekeliling ibu kota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tenteram, dan sejahtera. Sang Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada di bawah kekuasaan tahun 1522, perutusan Portugis di bawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahlisama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521–1535. Jika hal itu benar maka pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa Ratu Samiam masih menjadi putra mahkota. Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentaraIslam berusaha merebut ibu kota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu per satu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten sehingga Raja Sunda terpaksa bertahan di Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535–1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan kitab Purwaka Caruban Nagari yang berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Islam. Ratu Dewata kemudian digantikan oleh Sang Ratu Saksi 1543–1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551–1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir Kerajaan Sunda ialah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Barat. b. Kehidupan Sosial Ekonomi Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut. 1 Kelompok Rohani dan Cendekiawan Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengentahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita pantun. 2 Kelompok Aparat Pemerintah Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, dan hulu jurit kepala prajurit. 3 Kelompok Ekonomi Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya, juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan. Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasaan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhanpelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan. Di samping kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya, pahuma paladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindahpindah. Hal ini menjadi salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat kerajaan Sunda. Selain bertani, kehidupan masyarakat kerajaan Sunda juga berdagang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya enam buah kota bandar yang cukup penting dan ramai dikunjungi para pedangan dari berbagai daerah atau bangsa lain. Melalui keenam bandar tersebut, dilakukan usaha perdagangan dengan pihak luar. c. Kehidupan Budaya Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi, dan prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat. Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tertulis maupun lisan. Bentuk sastra tertulis, misalnya kitab Carita Parahyangan, sedangkan bentuk sastra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Siliwangi Raja-Raja Kerajaan Sunda Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta waktu berkuasa dalam tahun Masehi 1. Tarusbawa menantu Linggawarman, 669 – 723 2. Harisdarma, atawa Sanjaya menantu Tarusbawa, 723 – 732 3. Tamperan Barmawijaya 732 – 739 4. Rakeyan Banga 739 – 766 5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766 – 783 6. Prabu Gilingwesi menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795 7. Pucukbumi Darmeswara menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819 8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon 819 – 891 9. Prabu Darmaraksa adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895 10. Windusakti Prabu Déwageng 895 – 913 11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi 913 – 916 12. Rakeyan Jayagiri menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942 13. Atmayadarma Hariwangsa 942 – 954 14. Limbur Kancana putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964 15. Munding Ganawirya 964 – 973 16. Rakeyan Wulung Gadung 973 – 989 17. Brajawisésa 989 – 1012 18. Déwa Sanghyang 1012 – 1019 19. Sanghyang Ageng 1019 – 1030 20. Sri Jayabupati Detya Maharaja, 1030 – 1042 21. Darmaraja Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065 22. Langlangbumi Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155 23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155 – 1157 24. Darmakusuma Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175 25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175 – 1297 26. Ragasuci Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303 27. Citraganda Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311 28. Prabu Linggadéwata 1311-1333 29. Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350 31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357 32. Prabu Bunisora 1357-1371 33. Prabu Niskalawastukancana 1371-1475 34. Prabu Susuktunggal 1475-1482 35. Jayadéwata Sri Baduga Maharaja, 1482-1521 36. Prabu Surawisésa 1521-1535 37. Prabu Déwatabuanawisésa 1535-1543 38. Prabu Sakti 1543-1551 39. Prabu Nilakéndra 1551-1567 40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana 1567-1579 Peninggalan Kerajaan Sunda 1. Prasasti Cikapundung Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14. Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti tersebut. Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung. 2. Prasasti Pasir Datar Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi pada tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya. 3. Prasasti Huludayeuh Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang – Cirebon. Penemuan Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September 1991. Isi Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya. 4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda. Prasasti ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis. Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat sekarang Jalan Cengkeh dan Groenestraat Jalan Kali Besar Timur I, sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta 5. Prasasti Ulubelu Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun ditemukan di daerah lampung Sumatera bagian selatan, ada sejarawan yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru Siwa, Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh. 6. Prasasti Kebon Kopi II Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama. Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I Prasasti Tapak Gajah. 7. Situs Karangkamulyan Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara. Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar. Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan. Penelusuran yang terkait dengan Kerajaan Sunda kerajaan sunda pajajaran raja kerajaan sunda kehidupan politik kerajaan sunda kerajaan sunda galuh raja-raja kerajaan sunda raja terkenal kerajaan sunda peristiwa penting kerajaan sunda kerajaan sunda empire Daftar Pustaka Ari Listiyani, Dwi. 2009. Sejarah untuk kelas X. Jakarta. Erlangga. 2007. Sejarah untuk SMA/MA kelas X. Jakarta. Erlangga
Kepemimpinankerajaan Sunda lebih terfokus pada penataan masyarakat ke dalam, bukan penaklukan keluar wilayah. "Kekuatan besar yang mampu menjatuhkan masyarakat itu tidak ada di Sunda, sehingga satuan politiknya lebih bersifat lokal," tutur Budi. Hingga saat ini, representasi politik Sunda masih rendah secara nasional.
Berita tentang kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat setelah kerajaan Tarumanegara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Kerajaan Sunda yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat merupakan kerajaan yang bercorak Hindu cukup kuat dan sedikit menerima pengaruh Buddha. Dalam Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebut sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda. Pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh. Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Raja Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil bernama Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan tersebut diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat menjadi bagian dari kerajaan Galuh. Hal yang menarik dari isi Carita Parahyangan ini adalah nama Sena dan Sanjaya. Dua nama ini tercantum juga dalam prasati Canggal 732 M, yang menceritakan asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Lama. Dalam prasasti Canggal selain tercantum nama Sanjaya disebutkan juga adanya dua tokoh yaitu, Sanna dan Sanaha. Sanjaya adalah anak Sanaha. Membandingkan isi Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, kemungkinan Sanjaya adalah orang yang sama, sedangkan Sanaha dalam prasasti Canggal, kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan. Dengan demikian, di Jawa Barat pada masa itu ada kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya Sanjaya. Prasasti Sahyang Tapak 1030, merupakan sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat. Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dan berbahasa Jawa Kuno, berhuruf kawi. Dalam prasasti ini disebutkan tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati Jayamanahen, Wisnumurti amararijaya, Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramatunggadewa. Raja ini dianggap sebagai rangkaian dari raja-raja Sunda sebelumnya. Sri Jayabhupati adalah raja Sunda yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Pajajaran. Dia beragama Hindu aliran Waisnawa. Hal ini dapat terlihat dari gelarnya Wisnumurti. Diperkirakan, pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari Galuh ke Pakuan Pajajaran di Jawa Barat bagian tengah. Setelah raja Jayabhupati wafat, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi ke Kawali Ciamis. Pusat kerajaan pindah ke Kawali, pada masa Raja Rahyang Niskala Wastu Kencana yang menggantikan Sri Jayabhupati. Ia mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya. Rahyang Niskala Wastu Kencana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan penggantinya Rahyang Dewa Niskala Rahyang Ningrat Kancana dimakamkan di Gunung Tiga. Menurut Kitab Pararaton dan Carita Parahyangan, Rahyang Dewa Niskala digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Raja ini meninggal setelah tujuh tahun memerintah karena tewas dalam peristiwa Bubat pada tahun 1357, setelah Sri Baduga menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Setelah Sri Baduga, kerajaan Sunda selanjutnya diperintah oleh, Hyang Bunisora 1357-1371, Prabu Niskala Wastu Kencana 1371-1374, digantikan oleh anaknya Tohaan di Galuh 1475-1482, Ratu Jayadewata 1482-1521. Pada masa pemerintahan Ratu Jayadewata yang menurut prasasti Batutulis memerintah di ibu kota lama Pakuan Pajajaran, Kerajaan Sunda mulai terancam oleh orang-orang yang tidak setia pada kerajaan. Mereka adalah penduduk pajajaran yang mulai menganut Islam, terutama yang tinggal di pesisir utara. Banten dan Cirebon telah berubah menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang Islam. Merasa khawatir dengan perkembangan baru di pesisir utara, Ratu Jayadewata mengutus Ratu Samiam ke Malaka untuk meminta bantuan pasukan Portugis memerangi orang-orang Islam. Hal ini ditegaskan dalam berita Portugis bahwa pada tahun 1512 dan 1521 datang utusan dari kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Ratu Samiam. Ratu Samiam dalam berita Portugis ini sama dengan Prabu Surawisesa dalam Carita Parahyangan. Prabu Surawisesa menjadi raja dan memerintah tahun 1521-1535. a. Kehidupan politik Kerajaan Sunda Sumber sejarah yang penting dalam sejarah tatar sunda adalah Carita Parahyangan yang merupakan sumber yang berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Di dalam carita parahyangan ini diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebutkan pula sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda yang dipertuan di Sunda. Diceritakan pula bahwa pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari Raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Namun setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh. Kerajaan ini terletak di sebelah barat sungai Citarum. Pada sumber prasasti yang ditemukan di Sukabumi, tercantum nama Sri Jayabuphati yang merupakan salah satu raja Sunda. Jayabhupati adalah Raja Sunda yang beragama Hindu dan pusat kekuasaannya terletak di Pakuan Pajajaran. Penggantinya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana memindahkan kerajaannya ke Kawali Ciamis sekarang dia tinggal di keraton yang bernama Surawisesa. Rahyang Ningrat mengantikan ayahnya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana yang dilanjutkan kemudian oleh Sri Baduga. Pada masa Sri Baduga terjadi peristiwa besar yaitu perang Bubat yang membuat beliau, putrinya, serta utusan yang ikut serta ke Majapahit tewas. Dengan meninggalnya Sri Baduga, maka pemerintahan dipegang oleh Hyang Bunisora 1357-1371. Bunisora digantikan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana yang memerintah hampir 100 tahun lamanya yaitu dari 1371-1474. Pada masa kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Surawisesa, agama Islam mulai berkembang di Cirebon dan Banten. Hal tersebut membuat Prabu berusaha mencari sekutu untuk memperkuat kedudukannya melawan Islam. Kemudian dia bersekutu dengan Portugis yang sudah berhasil menguasai Malaka. Tindakan tersebut membuat kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggono harus mengambil tindakan untuk menghentikan pengaruh Portugis di Jawa. Oleh karena itu, beliau memerintahkan menantunya yaitu Fatahillah atau dipanggil juga Wong Agung untuk menyerang Portugis di Sunda Kalapa dan menguasai pelabuhan tersebut. Hal itu akan berdampak politik, karena akan semakin membuat Kerajaan Sunda menjadi terisolir dan menghambat atau mungkin menghancurkan kekuatan Portugis yang hendak menguasai Jawa. Sebelum menguasai Sunda Kalapa, pasukan Demak dan Banten mulai menaklukkan daerah-daerah sekitar Banten dan Sunda Kalapa. Pada pertempuran di Sunda Kalapa antara Demak dan Portugis, Pasukan Fatahillah berhasil menghancurkan Portugis. Lalu, Fatahillah mengubah kota Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Pada masa Raja Nuisya Mulya, Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam, sehingga berakhirlah Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang besar, sampai Majapahit pun sulit dan tidak bisa untuk menaklukannya. b. Kehidupan ekonomi dan sosial budaya Kerajaan Sunda Berdasarkan berita yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Sunda dapat digambarkan. Menurut berita tersebut, ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur, Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik. Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindah-pindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah. Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet. Demikianlah Materi Sejarah Kerajaan Sunda Politik Ekonomi dan Sosial Budaya, semoga bermanfaat. CJ08.
  • 7j50j32s0y.pages.dev/51
  • 7j50j32s0y.pages.dev/236
  • 7j50j32s0y.pages.dev/106
  • 7j50j32s0y.pages.dev/298
  • 7j50j32s0y.pages.dev/336
  • 7j50j32s0y.pages.dev/313
  • 7j50j32s0y.pages.dev/437
  • 7j50j32s0y.pages.dev/333
  • kehidupan politik kerajaan sunda