Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free VOL. 37 NO. 1, JUNI 2020, HAL 15 - - ISSN E 2528-6196 / P 2087-4294Akreditasi Kemenristekdikti 30/E/KPT/2018JEJAK-JEJAK DINAMIKA INDUSTRI BATIK YOGYAKARTA 1920-1930The Dynamics of the Batik Industry in Yogyakarta 1920-1930Farid Abdullah¹ dan Bambang Tri Wardoyo²¹Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi 229, Trisakti, Jl. Kiai Tapa 1, PenulisEmail kunci batik, sejarah, industri, YogyakartaKeywords batik, history, industry, YogyakartaABSTRAKTulisan ini membahas dinamika industri batik di Yogyakarta pada kurun waktu 1920-1930. Tujuanpenulisan ini adalah untuk mencermati kegiatan industri batik Yogyakarta masa lampau dan diperolehgambaran sosio-ekonomi masyarakat pada masa itu. Metode yang dipakai dalam tulisan ini adalahdeskriptif-kuantitatif dan sejarah. Sumber primer terkait kegiatan industri batik dalam tulisan inidiperoleh dari bukuHistory of Java, Raffles 1913,Batikrapport, Midden Java, P. de Kat Angelino1930, danDe Kleine Nijverheid in Imheemsche Sfeer en hare Expansiemogelijkheden op 1937. Industri batik di Yogyakarta pada kurun 1920-1930 juga didukung oleh keberadaanTextile Inrichting en Batik Proefstationyang didirikan pada tahun 1922 di Bandung. Kegiatanmembatik melibatkan berbagai suku bangsa seperti Jawa, Cina, Jepang, Eropa, dan Arab. Menelusurikegiatan industri batik di Yogyakarta mampu memberi gambaran produktifitas serta sejumlahpermasalahan industri batik Yogyakarta pada awal abad ke-19. Melalui tulisan ini diharapkan dapatdiperoleh gambaran serta perubahan-perubahan apa saja yang telah terjadi pada industri batikYogyakarta. Hasil kajian tulisan ini menjelaskan dinamika industri batik Yogyakarta yang sangat paper discusses the dynamics of the batik industry in Yogyakarta during the period purpose of this paper is to examine the activities of Yogyakarta batik industry in the past andobtain socio-economic descriptions of the community at that time. The method used in this paper isdescriptive quantitative and historical. Primary sources related to batik industry activities in this paperare obtained from the book History of Java, Raffles 1913, Batikrapport Midden Java, P. de KatAngelino 1930, and De Kleine Nijverheid in Imheemsche Sfeer en hare Expansiemogelijkheden opJava Sitsen 1937. The batik industry in Yogyakarta during the period 1920-1930 was alsosupported by the existence of the Textile Inrichting en Batik Proefstation which was founded in 1922in Bandung. Batik activities involve various ethnic groups such as Java, China, Japan, Europe andArabia. Tracing the batik industry activities in Yogyakarta is able to give an idea of productivityand a number of problems in the Yogyakarta batik industry in the early 19th century. Through thisarticle, it is expected to be able to obtain an overview and what changes have occurred in theYogyakarta batik industry. The results of this paper explain that the dynamics of batik industry inYogyakarta is very Masuk 21 Februari 2019Revisi 14 Mei 2019Disetujui 05 Juli 2019 Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930PENDAHULUANAktifitas industri sudah berlangsungberabad lamanya pada peradaban era Revolusi Industri di Inggris padaakhir abad ke-18, hingga kemudianberkembang menjadi era Revolusi saat ini, telah banyak perubahan yangterjadi Wrigley, 2018. Berawal darimasyarakat agraris yang mengalami revolusiagraris agricultural revolution hinggaberalih ke pemakaian mesin dan sumberenergi baru Vries, 1994. Dalamperkembangannya, konsep Revolusi Industrikemudian juga dikritisi sebagai istilah keliru,mitos, dan termasuk ke dalam daftarrevolusi palsu O’Brien, 1993.Industri batik dalam negeri umumnyaberbentuk usaha kecil dan menengah,menggunakan teknologi produksi bawahdan menengah, orientasi kewirausahaanyang rendah, kerap melakukan imitasi, danmemperoleh contoh dari luar Poon, 2017.Usaha batik merupakan kegiatan pentingbagi masyarakat kota Yogyakarta padatahun 1930-an. Kegiatan industri batik diPulau Jawa, dalam catatan peneliti Barat,setidaknya dapat ditemukan dari bukuHistory of Java,Thomas Stamford RafflesRaffles, 1830, danBatikrapport, P. De KatAngelino Angelino, 1931.Industri batik di Yogyakarta masalampau sangat menarik untuk dikaji karenadalam perjalanannya terdapat dua kekuatanpenting bertemu yaitu kekuatan tradisi dankekuatan modern kolonial Abdullah, 2013.Kekuatan tradisi diwakili oleh keberadaankeraton sebagai satu pusat kebudayaanJawa dan kekuatan modern oleh masuknyausaha-usaha kolonisasi Barat Inggris -Belanda. Pendekatan Barat melaluisejumlah penelitian dan survei yangdilakukan, bertemu dengan tradisimasyarakat setempat yang semi-tradisionaldalam kegiatan industri batik. Jejakperjalanan industri batik Yogyakarta masalampau, juga menarik produsen pembatikasing seperti Cina, Belanda, Arab, 1. Suasana Yogyakarta tahun 1930SumberA. Collectie_Topenmuseum_straatbeeld_jogjakarta_tmnr_60018353Yogyakarta pada tahun 1920-1930adalah kota yang hidup gambar 1.Menurut survei Sitsen pada tahun1930, jumlah penduduk Yogyakartamencapai jiwa. Komposisipenduduk pribumi Yogyakarta yangmenekuni sektor industri non-pertaniansebanyak jiwa, atau sekitar seluruh penduduk. Sedangkanpenduduk Yogyakarta yang terlibat disektor industri mencapai jiwa atausekitar Sitsen, 1937. Dari surveitersebut menggambarkan komposisipenduduk yang menekuni pertanian danindustri non-pertanian relatif angka presentase tersebut,gambaran sektor industri yang merupakan angka yang cukup besar. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Akar tradisi industri kerajinan hinggasaat ini masih banyak tersisa di penguasa kolonialBelanda dalam mengelola industri batik dipulau Jawa juga dilakukan dengan tahun 1922, didirikanlahTextileInrichting en Batik Proefstationdi kotaBandung. Lembaga ini didirikan untukmenjadi tempat yang mendukung kegiatanindustri tenun dan batik di pulau Jawa,termasuk kegiatan membatik di lembaga yang didirikan penguasakolonial Belanda berubah menjadi BalaiBesar Kerajinan dan Batik dari tulisan ini adalah,bagaimana kegiatan industri batik diYogyakarta pada kurun waktu 1920-1930?Aspek-aspek saja yang terjadi pada industribatik pada kurun waktu tersebut?METODOLOGI PENELITIANTulisan ini memakai metodedeskriptif-kuantitatif dan pendekatansejarah. Pengertian deskriptif sebagai“Suatu karya tulis prosa yang subyekkarangannya dalam pengertian penglihatan,suatu karangan yang mencatat ataumerekam suatu subyek” Komaruddin, 2007.Pertimbangan yang melandasi pemakaianpendekatan deskripsi adalah obyek yangdikaji dipaparkan menurut fakta-fakta yangada. Pendekatan deskripsi juga bertujuanmemaparkan kondisi yang ada sertamenguraikannya. Konsep deskripsimelibatkan manusia di dalamnya sebagaiobyek penelitian Sumartono, 2018.Tulisan ini memakai pendekatankualitatif karena menyentuh aspek memiliki fokus perhatian padaberagam paradigma yang terjadi dimasyarakat. Salah satu konsep dalampenelitian kualitatif adalah refleksivitas diri mengandung arti bahwaperlu dipertimbangkan terhadappengalaman, pandangan, dan peran penelitidi masa lalu yang mempengaruhi interaksidan interpretasinya terhadap medanpenelitian Sumartono, 2018.Tahap pertama pendekatan sejarahadalahheuristik,yaitu pengumpulansumber-sumber. Laporan dari P. De KatAngelino, berjudulBatikrapport Midden-JavaAngelino, 1931 dan SitsenberjudulDe Kleine Nijverheid inImheemsche Sfeer en hare Expansie-mogelijkheden op JavaSitsen, 1937dipakai sebagai dasar penelitian ini. Tahapkedua adalah kritik sumber yang ketiga adalah interpretasi darisumber yang diperoleh. Tahap terakhiradalah historiografi yaitu penyusunanseluruh fakta yang dimiliki danmengolahnya menjadi satu tulisan DAN PEMBAHASANKondisiUsaha batik secara ekonomi sangatpenting bagi penduduk Yogyakarta dansekitarnya. Siapapun yang mengunjungiYogyakarta pada tahun 1920-an, untukpertama kali akan melihat bagaimanahidupnya kota dan desa-desa. Banyakpenduduk hilir mudik dari desa ke kota dansebaliknya. Kesibukan di stasiun kereta api,di terminal bis, pesepeda, hingga berjalankaki, sarat membawa kain batik yangsedang diproses. Para pembatik cap dariKota Gede dan Mlangi terlihat setiap pagidan sore bersepeda atau berjalan kakimenuju Karang Kajen, selatan dari pusatkota Yogyakarta Surjomihardjo, 2008. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Sangat menarik ketika mencermatijumlah pekerja batik di Yogyakarta padakurun waktu tahun 1920 hingga tabel jumlah usaha dan pekerjabatik di Yogyakarta pada tahun 1920 – 1924Tabel 1. Usaha dan Pekerja Batik Yogyakarta1920-1924Sumber Surjomihardjo, 2008Menurut pernyataan Asisten WedanaBantul, pada tahun 1930 diperkirakanterdapat usaha batik rumahan didaerahnya. Usaha batik ini melibatkanpekerja sebanyak kurang lebih pula di kabupaten Pandakterdapat orang pembatik. LaporanAsisten Wedana Bantul ini lebih mudahdiperoleh, karena banyak pengusaha batikYogyakarta yang menolak ketika dikunjungioleh petugas survei. Menurut Angelino,besar dugaan para pengusaha takut dikenaipajak oleh penguasa kolonial BelandaAngelino, 1931.Dinamika industri batik di Yogyakartaberlangsung berlangsung fluktuatif. Ketikasurvei dilakukan pada bulan Februari 1927,menurut Bupati Bantul, terdapat 151 usahabatik di daerahnya. Dari jumlah tersebut, takkurang pelaku usaha batik pada bulan Mei, 1930, dalam waktukurang dari 3 tahun, sebanyak 80 tempatusaha batik telah tutup. Beberapa juraganbatik beralih usaha, bahkan menjadi kusirandong. Beberapa tempat produksi batikCina telah beralih menjadi pedagang hasilpertanian seperti beras, kedelai, kacang, dangula kelapa Angelo, 1931. Gambaran inimenjelaskan betapa fluktuatifnya industribatik Yogyakarta masa lampau. Besarkemungkinan hal ini banyak terjadi padamasyarakat transisi dari pertanian menjadiindustri, seperti halnya yang pada RevolusiIndustri di Eropa tahun 1930, kegiatan industribatik Yogyakarta dilaporkan tersebar padasejumlah daerah dengan jumlah usaha yangberbeda-beda, seperti tabel di berikut 2. Sebaran dan Jumlah Usaha Batik diYogyakarta, 1930Sumber Angelino, 1931Tabel 2. di atas menjelaskan bahwakegiatan industri batik di wilayahYogyakarta dan Surakarta tersebar diberbagai penjuru kota. Usaha batik tidakterkonsentrasi di suatu tempat khusus. Baikdi tengah kota ataupun di pinggiran,bahkan di luar kota Yogyakarta Imogiri,Karang Kajen masyarakat satu pusat industri batik di kotaYogyakarta adalah Kauman. Sejak tahun1900 sampai 1930, Kauman telah memilikikesetaraan dalam bidang ekonomi danperdagangan batik. Mata pencaharianpenduduk Kauman, pada awalnyabersumber dari jabatan sebagaiabdi dalemKeraton Yogyakarta. Pada mulanya, istriparaabdi dalemini bekerja sambilan di Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930rumah dengan membatik. Dalamperkembangan-nya justru usaha batik inimengalami kemajuan pesat sehinggamuncul pengusaha-pengusaha batiksetempat Darban, 2010. Ketekunan dansemangat wirausaha yang tinggi pendudukKauman, turut berperan menjadikanKauman sebagai produsen batik besar IndustriBagi ribuan perempuan desa di sekitarYogyakarta, keterlibatan mereka dalamusaha batik merupakan berkah. Disebabkanmemiliki keterbatasan seperti tidak dapatmeninggalkan rumah untuk waktu lama,namun masih ingin memperolehpenghasilan tambahan, maka membatikadalah berkah yang sangat ketekunan dan ketrampilan tanganyang tinggi, menyebabkan banyakperempuan desa Yogyakarta dapatbertahan pada industri batik Angelino,1931.Menurut survei Angelino pada tahun1930, usaha-usaha batik di Yogyakartadapat dikelompokkan sebagai berikut1. Usaha batik Jawa dan Cina, yangmembuat batik cap atau batik kualitaskasar;2. Usaha batik Jawa dan Cina, yangmembuat batik tulis halus;3. Usaha Batik Fuyi, milik orang Jepang;4. Dua usaha batik orang Eropa, wanitaGobee, membuat batik untuk seni;5. Usaha batik desa, untuk toko-toko besardi kota;6. Pembatik rumahan di desa;7. Usaha butik batik milik PangeranSuryadiningratan, membatik laporan Angelino di atas men-jelaskan bahwa industri batik Yogyakartajuga melibatkan berbagai suku, baik Jawa,Jepang, Cina, dan Eropa. Besarkemungkinan Arab juga terlibat namunterbatas di bidang perdagangan kain dari pedagang Arab ini membukaindustri batik cap di Pekalongan danmenjalin relasi dengan pengusaha KaumanAngelino, 1931.Proses ProduksiSeperti halnya kemajuan RevolusiIndustri, pembagian kerja juga ditemukanpada usaha batik Yogyakarta. Pembagian inijuga membentuk daerah-daerah peng-khususan pencucian kain, dari morisebelum dilakukan pencantingan, biasanyadilakukan di daerah seperti Ngadiwinatan,Purwadiningratan, Serangan, Kauman,Suranatan, Kadipaten dan PakualamanAngelino, 1931. Tahap pencucian kain iniumumnya dilakukan dekat sumber mata air,seperti sumur desa, maupun pengolahan limbah air cucianbatik, tampaknya belum dilakukan padaindustri batik masa daerah pengolahan kain moriatau pemukulan kain ngemplong,dikerjakan khusus oleh tukangkemplongdidaerah Suryataruna dan Serangan. Parapekerjakemplongini banyak melakukanperjalanan pulang pergi dari rumah merekamenuju tempat juragan batik di kotaAngelino, 1931. Pekerjaanngemplongdalam proses batik termasuk ke dalampekerjaan kasar yang umumnya dilakukanoleh kaum pria. Para pekerja ini kemudianmembawa kain hasilngemplongke pusat Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Gambar 2. Pembatik cap Yogyakarta tahun 1920sumberhttps//commons. TROPENMUSEUM_Interieur_van_een_batik-werkplaats_TMnr_ tempat pembatik dan juragan pembatik cap Gambar 2,banyak dikerjakan di desa-desa sepertiMlangi, Pakuncen, dan sudut desaPlosokuning, Kalasan, Imogiri, Palbapang,Batikan, Mangiran, dan Bantul Angelino,1931. Pembuatan batik cap ini termasukbatik dengan kualitas sedang dan memilikiharga relatif terjangkau dibanding denganbatik tulis. Para pembatik cap seluruhnyadikerjakan oleh pria, dikarenakan prosesbatik cap memerlukan tenaga dan staminatinggi, jika dibandingkan dengan mencelup dengan zat warnaatau disebutmbironi,umumnya dilakukandi rumah atau di bagian belakang rumahjuragan batik. Kegiatan mencelup banyakdilakukan di daerah Suronegaran, Ngasem,Kauman, Ngadiwinatan, Notoprajan,Pakualaman, dan Gading Angelino, 1931.Mencelup sebelum tahun 1914, banyakmemakai zat warna alam, namun seiringkemajuan penemuan zat kimiawi, maka zatwarna kimia mulai banyak dipergunakanoleh pengusaha batik peluruhan lilin batik atau disebutngerok, biasanya dikerjakan di dalam rumahusaha batik atau di desa seperti desaSerangan, Surojudan, Dongkelan, danWirobrajan. Proses ini termasuk pekerjaankasaran yang dilakukan oleh pembatik proses ini dilakukan kemudian kainbatik kembali diberi warna cokelat sogan,yang banyak melibatkan tenaga kasar dariSurakarta Angelino, 1931.Dalam catatan Angelino, proses inisesungguhnya banyak merugikan buruhbatik, karena harus menempuh jarak pulangpergi cukup jauh. Kegiatan inimenghabiskan waktu dan biaya yang tidaksedikit. Jarak antara satu tempat dengantempat lain ditempuh dalam hitungan jambahkan hari. Industri batik Yogyakartadalam amatannya, sangat tidak efisien dantidak dan BahanKurun waktu lebih jauh dari laporanAngelino, Letnan Gubernur Thomas Raffles juga melaporkan tentangkegiatan membatik di Pulau Jawa. Prosesmembatik memerlukan sejumlah alatproduksi. Berikut ini adalah peralatan yangdipakai dalam proses industri batik dalamamatan dalam bukunyaHistory of Java,dibantu seorang juru gambar Mr. WilliamDaniell Raffles, 1830 melaporkan alat-alatyang dipakai dalam proses produksi batikseperti di atas gambar 3.Sejumlah alat yang dipakai,digambarkan dari awal pembuatan benangdari bahan kapas hingga menjadi sehelaikain. Alat tenun gedogan back strap loom Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Gambar 3. Alat tenun dan batikSumber Raffles, 2008tradisional untuk membuat kain. Hinggacanting berlubang satu dan tiga, terhitungdigambarkan lengkap pada berat canting 1 ons juga dilaporkanoleh Raffles. Ketelitian ini tampaknya perludicontoh oleh peneliti pada masa produksi batik juga terhitungdetail dalam catatan Raffles. Prosespewarnaan untuk memperoleh warna yanggelap, dilakukan dengan cara mencelupkankain pada zat warna indigo tomJawasecara berulangkali Raffles, 1830. Namundemikian, dalam akhir laporannya, Rafflesmenuliskan bahwa proses produksi batik diPulau Jawa terhitung tidak efisien karenaproses produksi memakan waktu yangpanjang, tersebar di berbagai lokasi, sertabelum tertata kerja dengan BatikIndustri batik Yogyakarta pada masalampau melibatkan berbagai kalangan usiaseperti anak, remaja, orang tua, dan lanjutusia. Walaupun dalam laporan Angelinotidak mencatat secara spesifik usia danjumlah pekerja tersebut, namun hal inimenarik perhatian Kantor 4. Pembatik di Yogyakarta 1910-1940sumber pembatik usia dewasa diYogyakarta, umumnya bekerja berkelompokseperti gambar 4 di atas. Para pembatik inibekerja di halaman belakang rumah danmengelilingi satu wajan berisi lilin mori diletakkan di gawangan kayu danpembatik menggunakan canting untukmenorehkan lilin ke helai kain. Memakaikursi kayu pendek setiappembatik bekerja dengan tekun. Wanitapembatik yang sudah memiliki anak, kerapmembawa anak-anak mereka untuk survei yang dilakukan, Angelinomenemukan seorang anak laki-laki berusia10 tahun, tengah bekerja pada industri tersebut menemani orang tua merekamembawa kain ke kota. Demikian pulaterdapat seorang anak gadis berusia 10tahun yang membantu pekerjaanpencelupan mbironi. Pekerja anak-anak inibanyak ditemukan di pedesaan. Dalamamatan Angelino, hal ini terkait dengankondisi ekonomi keluarga. Namun demikian,dalam pola budaya Jawa, bisa saja ini terkait Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930dengan bagian mendidik anak untuk turutmembantu kedua pedesaan luar kota Yogyakarta, anak-anak berusia 10 tahun telah dianggapmampu mengerjakan proses batik sepertimembuat garis nyetripi oleh keduaorangtuanya. Anak-anak tersebut berasaldari desa, baik anak sendiri maupun tersebut mengakui bekerja ataspermintaan kedua orangtuanya dan tidakmenerima upah memadai, namun jerihpayah mereka cukup untuk membelibeberapa butir permen Angelino, 1931.Bagi peneliti Belanda seperti Angelino, bisajadi hal ini sebagai sesuatu yangmenyedihkan, namun bagi kedua orang tuaJawa itu sendiri, ini adalah bagian dariproses mendewasakan seorang anakAbdullah, 2013.Sementara itu, di daerah Imogiri,ditemukan pekerja anak perempuan berusia7 tahun. Anak perempuan ini melakukanpekerjaan mencelup mbironi dengan upahsebesar 4 sen per hari. Pada umumnya,pekerja anak-anak ini bekerja di desa,berkelompok sebanyak 10 anak atau laporan Angelino, tidak ditemukanpelanggaran pada kegiatan melibatkananak-anak ini Angelino, 1931. Laporantersebut menjelaskan kondisi pekerja anakyang bekerja dalam keadaan baik dan tidaktertekan. Para pekerja anak-anak tersebut,umumnya didorong oleh kerabat atauorang tua mereka usia remaja, seorangpembatik desa yang telah terampil, dapatmenggantikan peran kedua dewasa ini kemudian akanmengkhususkan diri pada bidang-bidangtertentu proses batik seperti mencanting,mencelup, mengerok, dan ini dilakukan hingga digantikanoleh anak mereka, demikian regenerasi di keluarga pembatikYogyakarta berlangsung sangat alamiahAbdullah, 2013.Pekerjaan batik juga melibatkan banyakorang tua. Masyarakat kota Yogyakartaadalah masyarakat berpelapisan sosial, yangmembedakan kaum bangsawan dan lingkungan bangsawan kerap terlihat istripangeran yang membatik dan memenuhikebutuhan sandang keluarga. Terdapatsikap enggan kalangan bangsawan untukbekerja berkelompok dengan masyarakatbiasa. Namun ketika kebutuhan ekonomimendesak, banyak dari pangeran itu bekerjasebagai tukang kerok Angelino, 1931.Sikap pragmatis ini juga berlangsung padamasa-masa 5. Pembatik di Tamansarisumber COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_batikster_aan _het_werk_bij_Taman_Sari_het_waterkasteel_van_de_Sultan_van_Jogjakarta_TMnr_60026249Para pembatik berusia lanjut sering kalibekerja mandiri, di rumah atau di dalamkeraton gambar 5. Pembatik ini biasanyamemiliki keterampilan membatik tulis yangsangat baik. Pembatik tulis yang sudah Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930sangat terampil ini bekerja dengan wajan,gawangan, dan tempat bekerja tersendiri,seperti di Tamansari keraton di kain-kain batik tulis yang belumdicelup, dijemur tanpa terkena DAN SARANKesimpulanIndustri batik yang hidup di Yogyakartapada awal abad ke-19 memperlihatkandinamika yang sangat tinggi. LaporanAngelino menunjukkan bahwa usaha batiktelah menghidupi banyak anggotamasyarakat Yogyakarta serta diyakinimerupakan berkah bagi pelakunya. Banyakgambaran tentang nilai-nilai kearifansetempat berupa pandai bersyukur atas apayang diperoleh, produktifitas, ketekunan,keuletan, dan kemampuan berbagi tugasdalam memproduksi sisi lain, dinamika industri batikYogyakarta juga menimbulkan dilema yaitumelibatkan anak-anak di bawah umur danpembatik lanjut usia. Pembatasan usia kerjabatik di Yogyakarta pada tahun 1920-1930belum dapat diterapkan dengan pembatik juga bekerja dalam waktuyang tidak teratur. Hal ini juga diketahuipenguasa Belanda, namun tidak dilaporkansebagai suatu bentuk penguasa kolonial BaratInggris, Belanda, mendokumentasikan,melaporkan hasil survei, hingga mendirikanlembagaTextile Inrichting en Batik Proefstationmerupakan kegiatan terstruktur dansistematis. Dalam perspektif Barat, industrikerajinan batik di pulau Jawa sangatpotensial. Kemampuan terstruktur dansistematis ini perlu dipelihara dandilanjutkan lebih jauh pada masa pesan yang dapat diperolehdari laporan Raffles dan Angelino tentangindustri batik di tanah air, khususnyaYogyakarta dan sekitarnya. Pemahamanterhadap pekerja batik, proses pembuatanbatik, bahan baku, serta nilai-nilai produksi,perlu dipahami oleh kalangan industri masakini. Saran juga dapat diberikan kepadapemerintah daerah Yogyakarta terhadapdaerah-daerah penghasil batik, perludilestarikan keberadaannya sebagai bagiandari warisan heritage jejak membuat laporan bangsaBarat Raffles, Angelino, Sitsen, danlainnya dapat dicontoh oleh generasi mudasaat ini. Peran lembaga pendidikan, jugaberperan besar dalam membuat laporanverbal. Laporan tertulis, baik dalam formatsederhana maupun rumit, terstruktur ataubebas, sangat penting sebagai satu artefakjejak-jejak PENULISKontributor utama dalam karya tulis iniadalah Farid Abdullah, dan Bambang TriWardoyo sebagai kontributor TERIMA KASIHUcapan terimakasih penulis sampaikankepada Prof. Edi Sedyawati, Dr. PrijantoWibowo, dan Prof. Djoko Suryo selakupromotor, ko-promotor, dan nara ini terlaksana atas bantuan dariUniversitas Indonesia 2012/ PUSTAKAAbdullah, F. 2013.Simbol pada Pola-pola BatikKraton Masa Sultan Hamengku BuwanaVI-IX Yogyakarta 1877-1988 KajianSejarah Seni, disertasi, Fakultas IlmuBudaya, Universitas Indonesia. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 15 - 24Abdullah, F., dkk, Jejak-Jejak Dinamika Industri Batik Yogyakarta 1920-1930Angelino, K. 1931.Batikrapport, deel II Midden-Java, Publicatie no. 7, Van Het KantoorVan Arbeid, Landsdrukkerij, A. 2010.Sejarah Kauman MenguakIdentitas Kampung Muhammadiyah,Yogyakarta Suara K. 1993.Introduction ModernConceptions of The Industrial Revolution,Cambridge The Industrial Revolution andBritish T. 2007.Kamus Istilah Karya TulisIlmiah, Jakarta penerbit Bumi S. 2017,The Journey to Revival ThrivingRevolutionary Batik Design and itsPotential in Contemporary Lifestyle andFashion, International Journal of Historyand Cultural Studies IJHCS, vol. 3, I, 1830.The History of Java, LondonJohn Murray, 2008.The History of Penerbit Narasi,Sitsen, 1937.De Kleine Nijverheid inImheemsche Sfeer en hareExpansiemogelijkheden op Java, dalamDjawa Tijdschrift van het Java Instituut,jaargang 17 2017.Metodologi PenelitianKualitatif Seni Rupa dan Desain. PusatStudi Reka Rancang Visual danLingkungan, Jakarta Fakultas Seni Rupadan Desain, Universitas A. 2008.Yogyakarta TempoeDoeloe Sejarah Sosial 1880-1930, JakartaKomunitas J. 1994.The Industrial Revolution andThe Industrious Revolution, The Journal ofEconomic History, vol. 54, no. 2, June 1994,Cambridge University 2018.Reconsidering the IndustrialRevolution England and Wales,Journal ofInter-disciplinary History, vol. 49, issue 1,The MIT InternetTextile Inrichting en Batik Proefstation. 2019.Retrieved Mei 9, 2019, from di Yogyakarta 1910-1940. 2019.Retrieved Mei 9, 2019, from Yogyakarta tahun 1930 2019.Retrieved Mei 9, 2019, _Straatbeeld_Jogjakarta_TMnr_60018353Pembatik di Tamansari 2019. Retrieved Mei 9,2019, from COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_ batikster_aan _het_werk_bij_Taman_Sari_ het_waterkasteel_van_de_Sultan_van_Jogjakarta_TMnr_60026249Pembatik cap Yogyakarta tahun 1920-1930Retrieved Mei 9, 2019 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Stephen PoonMalaysian batik has permutated from a traditionalist position as a communal craft to becoming a brand identity feature of the nation. This paper provides in-depth understanding of the factors which have enabled the traditional batik craft sector to experience a popularity revival, despite perceived threats from mass-produced products. A review traces the evolution of batik through its roots, traditional elements and processes, followed by a discussion of the importance of this art form through examining the uses of Malaysian batik within the context of contemporary lifestyles. Batik's aesthetic, cultural and socioeconomic values will be examined to understand how they play a role in successfully revolutionising the local batik industry. Indubitably, the re-emergence of batik as an aesthetic and commercial art form has resulted from the market conditions of supply and demand. Through a questionnaire survey of local respondents and an interview, this research uncovered the perceptions and potential of batik art and design in contemporary lifestyles. Research findings demonstrated that public perceptions of its aesthetic value and versatile functionality were positive, and that inclusion of batik design into education as well media communication channels would improve its brand positioning. Interest could be stimulated through promotion on various media platforms. Cultural preservation was critical from the industry's perspective, and qualitative analysis found that current mass production of batik wear and modern furnishings to accommodate the needs of contemporary fashion must be balanced with continued, cohesive efforts to create brand awareness of the craft, to enhance brand loyalty towards Malaysian batik. Jan de VriesThe Industrial Revolution as a historical concept has many shortcomings. A new concept-the "industrious revolution"-is proposed to place the Industrial Revolution in a broader historical setting. The industrious revolution was a process of household-based resource reallocation that increased both the supply of marketed commodities and labor and the demand for market-supplied goods. The industrious revolution was a household-level change with important demand- side features that preceded the Industrial Revolution, a supply-side phenomenon. It has implications for nineteenth- and twentieth-century economic history. Patrick O'BrienThe Industrial Revolution and British Society is an original and wide-ranging textbook survey of the principal economic and social aspects of the Industrial Revolution in Britain in the eighteenth- and early nineteenth-centuries. The distinguished international team of contributors each focus on topics at the very centre of scholarly interest, and draw together the prevailing research in an accessible and stimulating manner the intention throughout is to introduce a broad student readership to important, but less familiar aspects and consequences of the first Industrial Revolution. A variety of different disciplinary skills are employed in the analysis of empirical and conceptual data, and each chapter opens up its subject with indications for further reading. The Industrial Revolution and British Society offers a topical overview on perspectives of this central historical problem, and will be widely used as a course text by teachers in the Anthony WrigleyIn the mid-sixteenth century, England was a small country on the periphery of Europe with an economy less advanced than those of several of its continental neighbors. In 1851, the Great Exhibition both symbolized and displayed the technological and economic lead that Britain had then taken. A half-century later, however, there were only minor differences between the leading economies of Western Europe. To gain insight into both the long period during which Britain outpaced its neighbors and the decades when its lead evaporated, it is illuminating to focus on the energy supply. Energy is expended in all productive activities. The contrast between the limitations inherent to organic economies dependent on the annual round of plant photosynthesis for energy and the possibilities open to an economy able to make effective use of the vast quantity of energy available in coal measures is key both to the understanding of the lengthy period of Britain's relative success and to its subsequent swift decline. © 2018 by the Massachusetts Institute of Technology and The Journal of Interdisciplinary History, Istilah Karya Tulis IlmiahT KomaruddinKomaruddin, T. 2007. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta penerbit Bumi Penelitian Kualitatif Seni Rupa dan Desain. Pusat Studi Reka Rancang Visual dan Lingkungan, Jakarta Fakultas Seni Rupa dan DesainSumartonoSumartono. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif Seni Rupa dan Desain. Pusat Studi Reka Rancang Visual dan Lingkungan, Jakarta Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Tempoe Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930A SurjomihardjoSurjomihardjo, A. 2008. Yogyakarta Tempoe Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930, Jakarta Komunitas Bambu.
25Nov 2019. Statistik Dasar. Banyaknya Penerbitan TDP Menurut Badan Usaha di Kota Surakarta Tahun 2018. 25 Nov 2019. Statistik Dasar. Banyaknya Perusahaan Industri Pengolahan Besar/Sedang dan Tenaga Kerja Menurut Kelompok Industri di Kota Surakarta Tahun 2018. 25 Nov 2019. Statistik Dasar.
Pemkot Surakarta Sebut Solo Miliki Potensi Besar di Bidang Tekstil ilustrasi. - Pemerintah Kota Surakarta menyatakan Solo memiliki potensi besar di bidang tekstil, yang salah satunya terlihat dari banyaknya industri batik di daerah tersebut. "Kota Solo sendiri merupakan kota batik terbesar di Indonesia," kata Sekretaris Daerah Sekda Kota Surakarta Ahyani pada kegiatan Solo Textile Mart 2022 di Solo, Kamis 17/3/2022. Ia mengatakan keberadaan Kampung Batik Laweyan dan Kauman menjadi bukti bahwa industri tekstil termasuk batik dapat menjadi komoditas belanja bagi masyarakat, khususnya wisatawan. "Dalam hal ini, komoditas tekstil jadi tumpuan utama industri batik dan turunannya, seperti fashion kriya perca maupun aksesoris hingga dekorasi interior," katanya. Meski demikian, diakuinya, saat ini muncul keluhan dari perajin batik terkait kenaikan harga bahan baku menyusul karena kurangnya pasokan bahan baku kain khususnya bagi industri batik. Ia mengatakan kondisi tersebut tidak hanya dialami oleh perajin batik tetapi juga pelaku industri komoditas tekstil yang lain. "Harus dipahami bahwa ini terjadi tidak hanya di Indonesia tetapi juga hampir di seluruh dunia karena gagal panen kapas di Amerika dan negara penghasil kapas dunia lainnya," katanya. Menyikapi kondisi tersebut, salah satu upaya yang dilakukan Pemkot Surakarta adalah dengan menyelenggarakan Solo Textile Mart dengan tema Lets Talk About Textile yang diharapkan menjadi ajang diskusi nasional untuk para pihak sumber daya industri tekstil. "Oleh karena itu, saya berharap diskusi ini dapat memberikan solusi untuk menyiasati kenaikan harga bahan baku tekstil. Harus ada kolaborasi dengan para pihak untuk mengembangkan budidaya kapas mandiri sebagai upaya memenuhi pasokan kapas untuk komoditas kain bagi pelaku industri batik dan turunannya," katanya. Pihaknya juga berharap ke depan ada dukungan dari pemerintah pusat terkait kebijakan nasional dalam mendukung budidaya kapas secara mandiri. Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Surakarta Wahyu Kristina mengatakan solusi kelangkaan kapas tersebut dengan cara budidaya kapas. "Selain mencari solusi diharapkan juga tercipta jejaring dan penguatan kolaborasi antara pemangku kebijakan dengan pelaku industri tekstil dan turunannya," katanya. sumber ANTARA
AnalisisIndustri Batik Di Indonesia: Fokus Ekonomi (FE), Desember 2008, Hal. 124 - 135 Vol.7, No. 3 ISSN: 1412-3851 124 Sedangkan batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang ada di Mojokerto dan Tulung Agung, Profil Industri Profil industri batik di Indonesia termasuk ke dalam unit usaha kecil menengahMELACAK SEJARAH MOTIF BATIK KERATON Prof. Dr. Sujoko Alm., pakar seni rupa dari ITB pernah menyampaikan di Yogyakarta bahwa pelukis pertama dari Indonesia adalah perempuan Jawa yang “melukis” dengan canting di atas bahan tenunannya. Melukis dengan canting, sudah jelas yang dimaksud tentu membatik. Dan, merujuk pada penjelasan waktu pada kalimat sang profesor tersebut, sudah sangat menjelaskan pula bahwa batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling tua di Indonesia. Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” yang diaplikasikan ke atas kain untuk menahan masuknya bahan pewarna. Dari zaman kerajaan Mataram Hindu sampai masuknya agama demi agama ke Pulau Jawa, sejak datangnya para pedagang India, Cina, Arab, yang kemudian disusul oleh para pedagang dari Eropa, sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam yang dalam perjalanannya memunculkan Keraton Yogyakarta dan Surakarta, batik telah hadir dengan corak dan warna yang dapat menggambarkan zaman dan lingkungan yang melahirkan. Pada abad XVII, batik bertahan menjadi bahan perantara tukar-menukar di Nusantara hingga tahun-tahun permulaan abab XIX. Memang. Ketika itu batik di Pulau Jawa yang menjadi suatu hasil seni di dalam keraton telah menjadi komoditi perdagangan yang menarik di sepanjang pesisir utara. Menurut Mari S. Condronegoro dari trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, di lingkungan bangsawan keraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain batik di lingkungan keraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala, nyamping, kampuh, semuanya berupa kain batik. Begitu pula dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik. Dahulu, kain batik dibuat oleh para putri sultan sejak masih berupa mori, diproses, hingga menjadi kain batik siap pakai. Semuanya dikerjakan oleh para putri dibantu para abdi dalem. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Murdijati Gardjito dari Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad, membatik di lingkungan keraton merupakan pekerjaan domestik para perempuan. Sebagai perempuan Jawa, ada keharusan bisa membatik, karena membatik sama dengan melatih kesabaran, ketekunan, olah rasa, dan olah karsa. Keberadaan batik Yogyakarta tentu saja tidak terlepas dari sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, ia sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelasuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris. Sebagai raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda dengan pola batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah raja pendiri kerajaan Mataram, maka oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya di lingkungan istana. Motif larangan tersebut dicanangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Pola batik yang termasuk larangan antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, serta motif parang-parangan yang ukurannya sama dengan parang rusak. Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan keraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah batik. Kalaupun batik di keraton Surakarta mengalami beragam inovasi, namun sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik Keraton Yogyakarta. Ketika tahun 1813, muncul Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, perpecahan itu ternyata tidak melahirkan perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik tlatah tersebut. Menurut KRAy SM Anglingkusumo, menantu KGPAA Paku Alam VIII, motif-motif larangan tersebut diizinkan memasuki tlatah Keraton Puro Pakualaman, Kasultanan Surakarta maupun Mangkunegaran. Para raja dan kerabat ketiga keraton tersebut berhak mengenakan batik parang rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati. Batik tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri keraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik. Sementara itu, batik di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Keraton KasultananYogyakarta dan warna batik Keraton Surakarta. Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Keraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dengan Keraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X. Putri Keraton Surakarta inilah yang memberi warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman, hingga akhirnya terjadi perpaduan keduanya. Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman, yakni Pola Candi Baruna yang tekenal sejak sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro yang merupakan ciptaan RM Notoadisuryo. Sedangkan pola batik Kasultanan yang terkenal, antara lain Ceplok Blah Kedaton, Kawung, Tambal Nitik, Parang Barong Bintang Leider, dan sebagainya. Begitulah. Batik painting pada awal kelahirannya di lingkungan keraton dibuat dengan penuh perhitungan makna filosofi yang dalam. Kini, batik telah meruyak ke luar wilayah benteng istana menjadi produk industri busana yang dibuat secara massal melalui teknik printing atau melalui proses lainnya. Bahkan diperebutkan sejumlah negara sebagai produk budaya miliknya. Barangkali sah-sah saja. Tetapi selama itu masih bernama batik, maka sebenarnya tak ada yang perlu diperdebatkan tentang siapa pemilik aslinya. Bukankah kata “batik” amba titik, sudah menjelaskan dari mana asal muasal bahasanya? Sumber Melacak Sejarah Motif Batik Kraton Meskibersumber dari tradisi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, batik banyumasan tumbuh dan berkembang dengan napas yang berbeda, berjaya lalu susut. Sukrisno TB (78) dan Puspa Handayani (73) berjalan bersisihan menapaki halaman loji tua di Jalan Gadean, Sudagaran, Banyumas. Pasangan suami-istri yang terlahir dengan nama The Keng Tie
Sejak pengakuan UNESCO pada tahun 2009, batik berkembang lebih cepat dibanding tahun-tahunsebelumnya. Namun demikian, hingga saat ini ketersediaan printing mengenai perkembangan batikmasih menjadi kendala yang belum terselesaikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuiperkembangan batik ditinjau dari jumlah usaha, jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, danpermasalahan yang dihadapi oleh industri batik serta merumuskan upaya dalam pengembanganindustri batik. Penelitian ini dilakukan di 27 provinsi di Indonesia dengan menggunakan metodedeskriptif analitis menggunakan data primer dan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian,diperkirakan jumlah industri batik di Indonesia mencapai unit dengan tenaga kerja orang dan mampu mencapai nilai produksi sekitar 407,5 miliar rupiah per bulan atau setara4,89 triliun rupiah per tahun. Permasalahan yang dihadapi industri batik terdiri dari printing, bahanbaku, keterampilan tenaga kerja, pengembangan usaha kain lokal, pengelolaan limbah, pembinaandan pendampingan oleh Organisasi Perangkat Daerah OPD, persaingan dengan printing bermotifbatik. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan batik yaitu memperbaharui printingindustri batik, koordinasi sistem database batik, pemanfaatan sumber daya alam lokal denganmeningkatkan penggunaan pewarna alam, optimalisasi pembinaan industri dan peran Balai LatihanKerja BLK dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja, sosialisasi potensi batik, pembangunanpengolahan limbah dan peningkatan kesadaran industri batik mengenai pengelolaan limbah,penguatan brand batik tulis dan batik cap, dan advokasi dan pemasaran sosial kepada konsumenmengenai batik tulis dan batik cap. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free VOL. 37 NO. 1, JUNI 2020, Hal - ISSN E 2528-6196 / P 2087-4294Akreditasi Kemenristekdikti 30/E/KPT/2018UPAYA PENGEMBANGAN INDUSTRI BATIK DI INDONESIABatik Industry Development Efforts In IndonesiaAbi Pratiwa Siregar, Alia Bihrajihant Raya, Agus Dwi Nugroho, Fairuz Indana, I Made YogaPrasada, Riesma Andiani, Theresia Gracia Tampubolon, dan Agustina Tri KinasihDepartemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah MadaKorenspondesi PenulisEmail abipratiwasiregar kunci industri Batik, pengembangan, permasalahan,printingbermotif batikKeywordsprinted batik, development, batik industry, problemsABSTRAKSejak pengakuan UNESCO pada tahun 2009, batik berkembang lebih cepat dibanding tahun-tahunsebelumnya. Namun demikian, hingga saat ini ketersediaanprintingmengenai perkembangan batikmasih menjadi kendala yang belum terselesaikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuiperkembangan batik ditinjau dari jumlah usaha, jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, danpermasalahan yang dihadapi oleh industri batik serta merumuskan upaya dalam pengembanganindustri batik. Penelitian ini dilakukan di 27 provinsi di Indonesia dengan menggunakan metodedeskriptif analitis menggunakan data primer dan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian,diperkirakan jumlah industri batik di Indonesia mencapai unit dengan tenaga kerja orang dan mampu mencapai nilai produksi sekitar 407,5 miliar rupiah per bulan atau setara4,89 triliun rupiah per tahun. Permasalahan yang dihadapi industri batik terdiri dariprinting, bahanbaku, keterampilan tenaga kerja, pengembangan usaha kain lokal, pengelolaan limbah, pembinaandan pendampingan oleh Organisasi Perangkat Daerah OPD, persaingan denganprintingbermotifbatik. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan batik yaitu memperbaharuiprintingindustri batik, koordinasi sistemdatabasebatik, pemanfaatan sumber daya alam lokal denganmeningkatkan penggunaan pewarna alam, optimalisasi pembinaan industri dan peran Balai LatihanKerja BLK dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja, sosialisasi potensi batik, pembangunanpengolahan limbah dan peningkatan kesadaran industri batik mengenai pengelolaan limbah,penguatan brand batik tulis dan batik cap, dan advokasi dan pemasaran sosial kepada konsumenmengenai batik tulis dan batik UNESCO's recognition in 2009, batik has developed faster than in previous years. However, untilnow the database on the development of batik is still an unfinished solution. The purpose of thisstudy was to determine the development of batik in terms of the number of businesses, the numberof workers, production capacity, and problems related to the batik industry as well as formulatingdevelopment efforts in the batik industry. This research was conducted in 27 provinces in Indonesiausing descriptive-analytical methods using primary data and secondary data. Based on the researchresults, it is estimated that the number of batik industries in Indonesia reached units with aworkforce of 37,093 people and was able to reach a production value of around billion rupiahsper month or equivalent to trillion rupiahs per year. Problems related to the batik industry consistof basic data, raw materials, work skills, local fabric development, waste management, guidance andassistance by the Regional Organization of Organizations OPD, competition with printed Masuk 06 Februari 2020Revisi 10 Maret 2020Disetujui 19 Maret 2020 Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaEfforts can be made to develop batik, such as updating the batik industry database, batik systemdatabase, utilizing local natural resources by increasing the use of natural dyes, optimizing industrialdevelopment and the role of the Vocational Training Center BLK in increasing workforce, socializingthe potential of batik, construction of waste treatment and increasing awareness of the batik industryabout waste management, strengthening of written and printed batik brands, and advocacy and socialmarketing for consumers regarding written batik and printed merupakan karya seni adiluhungbangsa Indonesia yang dikenal sejak zamankerajaan Majapahit dan terus berkembanghingga saat ini Salma & Eskak, 2012.Namun demikian, karena perlindunganhukum terhadap kekayaan intelektualmasyarakat asli tradisional masih lemah,batik pernah diakui sebagai milik negaralain atau milik perusahaan swasta Patji,2010; Tololiu, 2014. Menanggapi haltersebut, Indonesia menyiapkan berbagaikajian, seminar, danworkshop/pameranterkait batik untuk kemudian mengambilupaya hukum terhadap batikdilakukan melalui keanggotaan Indonesia diUNESCO Randa & Rani, 2014. Padatanggal 3 September tahun 2008,pemerintah menominasikan batik danakhirnya diterima untuk diproses olehUNESCO beberapa bulan kemudianLusianti & Rani, 2012. Menjelang akhirtahun 2009, UNESCO secara resmimengakui batik sebagai warisan budaya takbenda Kemanusiaan untuk Budaya Lisandan Nonbendawi Masterpieces of the Oraland the Intangible Heritage of Humanity,tepatnya tanggal 2 Oktober 2009 Setiawanet al., 2014; Aditya, 2015; Triana &Retnosary, 2020Adanya pengakuan secara resmi darilembaga internasional terhadap batikberkorelasi positif dengan jumlahpermintaan Suliyanto et al., 2015.Pemerintah memberikan himbauan agarpara pegawai negeri menggunakan batikpada hari-hari tertentu, khususnya padaperingatan Hari Batik Nasional Nurainun etal., 2008. Sedangkan masyarakat umumsemakin bangga menggunakan batik, baikuntuk yang tua maupun kaum muda Utami& Triyono, 2011.Dampak lain pengakuan UNESCOadalah bertambahnya variasi teknikmembatik Wulandari, 2011. Saat initerdapat batik yang dibuat secara tulis, lukis,dan cap Singgih, 2016. Ketiga jenis batiktersebut merupakan buatan tanganhandmade, sehingga prosespembuatannya relatif lama dan hargajualnya relatif mahal. Akibatnya, tidakseluruh masyarakat dapat membeli Kina,2013.Seiring berkembangnya teknologi, saatini telah tersedia jenisprintingbermotifbatik, yaitu tekstil bermotif batik yangdihasilkan melalui proses sablon. Sistemproduksi tersebut menghasilkan tekstilbermotif batik secara massal dalam waktusingkat, dan mampu dijual dengan hargarelatif murah dibandingkan batik cap,apalagi batik tulis Setiawati et al., 2011;Nawawi, 2018. Menurut Kurniasih 2018,apabila dihadapkan pada produk yang sama,konsumen cenderung memilih harga yang Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesialebih murah. Hal tersebut terjadi padaindustri batik. Masyarakat awam cenderungmembeliprintingbermotif batik dibandingbatik jenis batik tidak saja terancam olehbatik tiruan produksi lokal melainkan jugaproduksi negara lain Oscario, 2014;Masiswo et al., 2017. Sejak tahun 2012hingga 2014, impor produk tekstil batik danmotif batik naik 17,9% atau sebesarUS$13,25 juta Handoyo & Wikanto, 2015.Fenomena ini merupakan suatu hal yangtidak dapat dihindari, khususnya bagiprodusen batik cap, karena target/segmenpasarnya sama denganprintingbermotifbatik Setiawati et al., 2011.Lebih lanjut, status yang diberikanUNESCO kepada batik tidak hanyamembawa manfaat namun juga tanggungjawab yang besar. Pemerintah dimintauntuk sanggup menjaga, melestarikan, danmewariskan secara estafet kepada generasiyang akan datang. Jika tidak dilaksanakan,maka sanksinya adalah dicabut ataudihapus dari daftar warisan budaya duniaAsri, 2018.Atas dasar hal tersebut, pemerintahperlu merumuskan upaya yang efektifdalam mengembangkan batik di industri batik dibiarkan bersaingdenganprintingbermotif batik melaluimekanisme pasar, maka akan kalah danterpaksa menutup usahanya Setiawati et al.,2011. Lebih lanjut, jikaprintingbermotifbatik mendominasi industri batik, maka haltersebut tidak sejalan dengan filosofi batiksebagai sebuah teknik dan proses yangbersama di dalamnya ada motif/poladengan nilai seni yang dihasilkan danbernilai ekonomi Nawawi, 2018.Tantangan lain dalam pengembanganbatik adalah ketersediaan data. Setelahsepuluh tahun memperingati Hari BatikNasional, Indonesia belum memiliki databatik yang mutakhir. Terakhir kali padatahun 2012, industri batik di Indonesiasebanyak unit dengan nilai produksiRp. 3,1 triliyun. Tujuan dari penelitian iniadalah untuk mengetahui jumlah industri,jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, danpermasalahan serta merumuskan upayadalam pengembangan industri PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan sejakNovember hingga Desember tahun 2019 didi 27 provinsi dari total 34 provinsi diIndonesia. Total responden sebanyak 53industri batik dan untuk menggali informasilebih dalam, dilakukan wawancara denganOrganisasi Perangkat Daerah OPD disetiap provinsi. Tujuh provinsi yang tidaktermasuk lokasi penelitian adalah NusaTenggara Timur, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan, Gorontalo, SulawesiBarat, Sulawesi Tenggara, dan Papua ini dikarenakan tidak adanya industribatik berdasarkan informasi dari OPD dimasing-masing wilayah penelitian ini adalah deksriptifanalitis yaitu suatu metode yangmemberikan gambaran keadaan yangsebenarnya dari obyek yang ditelitiberdasarkan fakta-fakta yang ada dengancara mengumpulkan, mengolah, danmenganalisis berbagai macam datasehingga dapat ditarik suatu kesimpulanRori, 2013. Data dalam penelitian ini Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaGambar 1. Persebaran Industri Batik di Indonesia menurut Jumlah Industriketerangan na = tidak termasuk sebagai lokasi penelitianSumber Pemerintah Daerah Provinsi di Indonesia 2019terdiri dari data primer yang berasal dariwawancara kepada dinas perindustrianOPD, asosiasi dan industri batik dan datasekunder yang berasal dari para pemangkukepentingan terkait industri DAN PEMBAHASANJumlah Industri Batik di IndonesiaStatus wilayah penghasil batik masihmelekat pada Pulau Jawa. Delapan puluhtujuh persen industri batik di Indonesiatersebar di Jawa Barat 38,42%, JawaTengah 26,22%, Daerah IstimewaYogyakarta DIY 19,52%, Jawa Timur2,66%, Banten 0,23%, dan Daerah KhususIbukota DKI Jakarta 0,05% sedangkan diluar Pulau Jawa industri batik terbanyakberada di Provinsi Jawa Barat menempatiperingkat satu dengan jumlah industri batikterbanyak. Hal ini tidak terlepas dari statusCirebon yang merupakan salah satu sentrabatik dan telah mengukir perjanan panjanghingga saat ini Handayani, 2018. Diwilayah ini, beberapa perajin batik bahkantelah memiliki cabang di kota besar lain,seperti Jakarta dan Yogyakarta sehinggapemasarannya semakin meluas. Selain itu,ada beberapa perajin batik tulis besar yangberhasil ekspor Wahyuningsih & Fauziah,2016. Perkembangan industri batik diCirebon juga dipengaruhi oleh pesananmotif khas dari daerah lain seperti SumateraSelatan karena keterbatasan sumber dayamanusia di wilayahnya Suryani, 2017.Di luar Pulau Jawa, perkembanganindustri batik di Provinsi Jambi merupakanyang paling masif. Jika ditinjau berdasarkansejarahnya, perkembangan batik di wilayahini juga tidak terlepas dari perkembangankerajaan dan penggunaan batik yangawalnya terbatas pada keluarga kerajaan,kerabat kerajaan, maupun kaum bangsawanDISBUDPAR Jambi, 2017.Batik Jambi memiliki daya saing untukberkompetisi di pasar lokal maupun Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaGambar 2. Persebaran Industri Batik di Indonesia menurut Jumlah Tenaga KerjaSumber Pemerintah Daerah Provinsi di Indonesia 2019nasional. Faktor pendukungnya antara lainspesifikasi produk, infrastruktur, kebijakanpemerintah, sumber daya manusia danIPTEK. Kebijakan pemerintah diwujudkandalam bentuk peningkatan sarana danfasilitas pemasaran sepertishowroomDewan Kerajinan Nasional Daerah Jambi,Art ShopKembang Seri Wisma PerwakilanJambi-Jakarta,ShowroomKembang SeriJambi, Balai Kerajinan Rakyat Selaras PinangMasak Mudung Laut Seberang Jambi danGaleri Batik Berkah Jambi Raf, 2012.Jumlah Tenaga Kerja Industri Batik diIndonesiaSejauh mana industri batik berperan dimasyarakat dapat ditinjau melalui berapabanyak tenaga kerja yang diserap olehindustri batik tersebut. Selain itu, banyaknyatenaga kerja yang dilibatkan bisa menjadiindikasi terhadap jenis batik yang 1 lot 110 potong batik tulismembutuhkan waktu menit Rinawatiet al., 2013, sementara batik cap sejak awalpemotongan kain hinggapenglorodankurang lebih 912 menit Rinawati et al.,2012. Di sisi lain,printingbermotif batikdihasilkan melalui proses sablon denganlama pembuatan sekitar 5 menit Suhardi etal., 2017. Pada batik tulis dan cap,kebutuhan atas tenaga kerja relatif tinggikarena pada setiap tahapannya dikerjakansecara manual. Sedangkanprintingbermotifbatik menggunakan mesin sehingga tidakbutuh banyak tenaga berdasarkan wilayah, maka JawaTengah, Aceh, dan Jawa Timur merupakantiga wilayah teratas, di mana setiap industribatiknya menyerap tenaga kerja masing-masing sebanyak 12 orang, 10 orang, dan 9orang. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaGambar 3. Persebaran IKM Batik di Indonesia menurut Nilai ProduksiSumber Pemerintah Daerah Provinsi di Indonesia 2019Nilai Produksi Industri Batik di IndonesiaBerdasarkan hasil pengumpulan data,diketahui nilai produksi batik di Indonesiamencapai 407,5 miliar rupiah per bulan atausetara 4,89 triliun rupiah per produksi tersebut ditopang olehtenaga kerja sebanyak jumlah tenaga kerja dan nilaiproduksi batik yang tercatat masih di bawahdari nilai aktual undervalued karenabeberapa provinsi tidak memilikiprintingtentang nilai kedua variabel INDUSTRI BATIK DIINDONESIAAntusiasme masyarakat di Indonesiaterhadap batik baik untuk pakaian formalmaupun sehari-hari semakin tinggi dariwaktu ke waktu. Namun demikian, industriini juga tidak terlepas dari berbagaipermasalahan. Dimulai dari ketersediaanprinting, faktor produksi seperti bahan bakudan tenaga kerja, hingga fokus dalampengembangan kain 1. Permasalahan Industri Batik ulangb. Tidak kesulitanbahan bakua. Tenaga kerjakurang terampilPengem-banganusaha kainlokalb. Mengembangkanseluruh jenis kaintidak hanya lokalPersaingandenganprintingbermotifbatik Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaPrintingKetersediaanprintingyang valid danmutakhir merupakan salah satu prasyaratuntuk menyusun rencana pengembanganyang efektif dan efisien. Dari total 27provinsi, sebagian besar tidak memilikiprintingatau tidak memperbaharui yang menjadi alasan antara lain belumadanya komunikasi antara pemerintahdaerah dan industri batik, dan keterbatasananggaran untuk melaksanakanpengumpulan bakuBahan baku merupakan salah satukomponen strategis dalam industri industri batik yang berada di PulauJawa, bahan baku relatif mudah untukdijangkau. Kondisi sebaliknya dihadapiindustri batik di luar Pulau Jawa, di manabahan baku dibeli dari Pulau Jawa sehinggaharus dikirimkan dan membutuhkan waktuyang relatif lama. Hal ini berdampak padakurang lancarnya aktivitas produksi danmeningkatnya biaya tenaga kerjaProduksi batik, khususnya batik cap danbatik tulis membutuhkan keterampilan danketelitian. Oleh karena itu, tidak semuaorang bisa membuat batik. Bagi industribatik di Pulau Jawa, tenaga kerja terampilrelatif mudah ditemukan. Sementara bagiindustri batik di luar Pulau Jawa, padaumumnya mengundang perajin batik dariPulau Jawa untuk memberi pelatihan dalamkurun waktu tertentu. Setelah itu,mengupayakan SDM lokal yang telahterlatih untuk menjadi tenaga usaha kain lokalBeberapa wilayah di luar Pulau Jawalebih fokus pada pengembangan usaha kainlokal yang sudah ada sejak lamadibandingkan batik yang baru sajadisosialisasikan oleh pemerintah sejakadanya pengakuan UNESCO. Sebagaicontoh, Provinsi Sumatera Selatan, SulawesiTenggara, Nusa Tenggara Barat, danprovinsi di Kalimantan memiliki kain lokalyang lebih berkembang daripada kain lokal tersebut bahkan telahmenembus pasar ekspor. Serapan pasarterhadap kain lokal ini juga sangat tinggisehingga OPD di provinsi dan industri lebihmemilih mengembakan usaha kain insentif bagi usaha batik masihrendah dan membuat industri batik limbahSebagian besar industri batik di PulauJawa menggunakan bahan pewarna ini dapat menjadi masalah diwaktu yang akan datang karena limbahyang dihasilkan belum dikelola. Bahkan,banyak industri yang membuang limbah kesungai. Dampaknya, warna sungai berubahdan menghasilkan bau tidak sedap. Hal inidapat merugikan masyarakat yangmengandalkan sungai sebagai matapencaharian atau aktifitas denganprintingbermotifbatikPerkembangan usahaprintingbermotifbatik pada prinsipnya sangat mengganggukeberlanjutan industri batik. Keunggulanprodukprintingbermotif batik adalah bisadihasilkan dalam jumlah banyak namun Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesiawaktunya relatif singkat. Namun demikian,apabila industri batik dihadapkan padasegmen pasar yang sama, industri batik tulisdan batik cap akan kalah dari sisi harga dankuantitas batik sebagianbesar dimiliki oleh pengusaha bermodalbesar dengan kecenderungan berorientasikeuntungan tanpa memperhatikankelestarian budaya. Terkait hal ini,persaingan batik tulis dan batik cap denganusahaprintingbermotif batik terjadi disetiap wilayah yang memiliki industri batik,baik di Pulau Jawa maupun di luar akhirnya, ada industri batik yangawalnya hanya ingin fokus pada batik tulisdan/atau batik cap juga terpaksa menjualprintingbermotif batik. Alasannya untukmemenuhi permintaan pasar dalam jumlahbanyak seperti seragam kantor atau sekolahdan untuk menjangkau konsumenmenengah ke belum memahamiperbedaan antaraprintingdengan batik capdan tulis, sehingga variabel utama dalammemilih batik adalah harga. Tidak dapatdipungkiri, pemerintah daerah juga dalambeberapa kegiatan turut serta membeliprodukprintingbermotif batik untukkeperluan beberapa industri, usahaprintingbermotif batik ini tidak dapat dikatakansebagai batik seperti halnya tulis dan proses pembuatannya hanyadisablon. Dari aspek budaya,printingbermotif batik memiliki motif atau unsurbudaya daerah namun dalam prosespembuatannya, mengusung modernismemelalui penggunaan alat atau mesin dan pendampingan oleh OPDSelain permasalahan yang sudahdicantumkan pada Tabel 1 di atasberdasarkan hasil observasi di lapangan,salah satu tantangan dalam pengembanganbatik adalah tekad dari pemerintah daerahmelalui OPD terkait. Beberapa OPD DinasPerindustrian di provinsi di Pulau Jawasangat aktif dalam melakukan terkait dengan peningkatanketerampilan industri batik baik dalamproses produksi maupun demikian, pembinaan ini belumsepenuhnya menyasar seluruh ada industri di KabupatenBangkalan yang sudah lama tidak mendapatpelatihan dari PENGEMBANGAN INDUSTRIBATIK DI INDONESIAMemperbaharuiprintingindustri batikKegiatan memperbaharuiprintingindustri batik perlu diupayakan oleh dinasperindustrian di tingkat kabupaten/kota danprovinsi. Dinas tersebut dapat bekerjasamadengan Pelayanan Terpadu Satu Pintusehinggaprintingdapat diperbaharui lain yang dapat ditempuhadalah menjalin kerja sama dengan asosiasipengusaha/perajin batik baik di tingkatkabupaten/kota maupun provinsi. Untukmenyusundatabaseyang baik, maka datayang diperlukan antara lain kode industri,nama industri, nama merk, nomor IUI,nomor SNI, nama pemilik, alamat industri,nomor telepon, jumlah tenaga kerja, jenisproduk batik, jumlah produksi, nilaiproduksi, nilai investasi, jenis bahan baku, Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesiakebutuhan bahan baku, ketersediaan alat,jumlah penjualan, dan wilayah sistemdatabasebatikApabilaprintingindustri batik di tingkatprovinsi belum tersedia, maka data yangberada di pusat juga belum tentu sesuaidengan kondisi faktual di setiap wilayah diIndonesia. Pada saaat ini, koordinasi sistempendataan batik di antara pemerintahprovinsi, kota/kabupaten bahkanpemerintah pusat belum terlaksana denganbaik. Sebagai contoh, beberapa daerahmenyatakan telah melaporkan langsungdata batik ke pusat melalui pada kenyataannya provinsi,kabupaten dan kota tidak mempunyairekapitulasi data tersebut karenapemerintah pusat tidak memberikan aksesdata kepada dinas. Hal ini tentu sajamerugikan industri yang telah mempunyaiizin usaha industri tetapi keberadaannyatidak diketahui oleh pemerintah sumber daya alam lokaldengan meningkatkan penggunaanpewarna alamKetergantungan pewarna kimia yangketersediaannya hanya ada di Pulau Jawamenyebabkan usaha batik di luar PulauJawa mengalami kesulitan dalampengadaan bahan pewarna. Prosespengiriman bahan pewarnanya tentunyamembutuhkan waktu distribusi yang lamaserta biaya tinggi. Masalah ini dapatterselesaikan apabila industri batik mampumemanfaatkan pewarna alam yang ada diwilayah sekitar usaha. Banyak sekali bahanpewarna yang tersedia di alam, misalnyaindigofera, kulit kayu, sari daun atau buahdan sebagainya. Proses ini nantinya akanmeningkatkan kearifan lokal dan kekhasanwarna batik dari masing-masing itu, permasalahan lingkungan terkaitlimbah pewarna batik dapat meningkatkan minat industrimenggunakan bahan pewarna alami makadinas harus aktif melaksanakan apabila memungkinkan dinasmenjalin kerja sama dengan eksportir untukmengirim batik tersebut ke luar negeri. Halini sangat mungkin terjadi karena pembelidi luar negeri sangat menyukai batikdengan bahan pewarna pembinaan industri danperan BLK dalam peningkatanketerampilan tenaga kerja industriDinas dan asosiasi perlu mengupayakanpelatihan yang sebisa mungkinmengutamakan para perajin baru karenacenderung lebih cepat dalam mengadopsihal yang baru. Hal ini dicontohkan olehDinas Perindustrian Provinsi Bengkulu yangmendorong peserta pelatihan berusia 18-35tahun. Lulusan pelatihan diharapkanmampu menjadi tenaga kerja terampildalam usaha lain adalah peningkatanketerampilan teknik membatik melaluikerjasama dengan Balai Latihan Kerja BLK.BLK diharapkan dapat membekali tenagamuda dengan materi mengenaikemampuan teknis produksi maupunpemasaran batik. Selain itu, jika pesertapelatihan telah lulus maka BLK juga dapatmemberikan bantuan berupa alat standarproduksi batik seperti meja produksi,cap/canting, wajan dan lain yang dapat diadopsidicontohkan oleh Provinsi Sumatera Baratdan NTB. Kedua wilayah ini berupaya Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesiameningkatkan keterampilan sumber dayamanusia melalui pembentukan SMK konkret ini dapatdiimplementasikan juga di wilayah tetapi, jika dirasa akan menelan biayayang relatif tinggi, upaya selanjutnya yangbisa dilakukan adalah melibatkan batiksebagai mata pelajaran. Misalnya, membatiksebagai muatan lokal potensi batikUntuk meningkatkan minat berbisnisbatik, khususnya di luar Pulau Jawa makaperlu ada sosialisasi secara berkalamengenai potensi bisnis batik. Masyarakatsaat ini belum mengetahui bahwa usahabatik mampu memberikan penerimaancukup besar. Selain itu, potensi ekspor batikjuga sangat tinggi karena batik merupakanwarisan budaya yang diakui mempercepat sosialisasi potensibatik ini, dapat bekerjasama denganpublicfiguredan disampaikan baik dalameventseperti pameran maupun media lanjut, dapat juga melibatkan desainerlokal/nasional untuk mengolah kain batikmenjadi tulis dan batikcapMenurut keterangan OPD dan industribatik, usahaprintingbermotif batik telahmenghilangkan esensi dan aspek seni padapembuatan batik. Esensi batik adalahpewarnaan dengan teknik menutup bagianyang tidak diwarnai dengan lilin. Selain itujuga pengakuan dunia atas batik dilihatsebagai warisan kekayaan dunia karenaaspek seni motif karena itu, perlu adanyapemisahan kode usaha bagi batik dengantekstil. Batik sebaiknya tidak hanya dimaknaisekedar kain bergambar seperti desain padaindustri tekstil tetapi batik adalah sebuahproses pewarnaan kain dengan melaluitahapan penutupan kain menggunakan lilindan fiksasi warna sehingga menghasilkanmotif ciri khas kewilayahan sebagai sebuahkarya lain yang dapat dilakukanadalah adanya informasi yang tegas danjelas terkait jenis produk batik tulis/batikcap/batik tulis di pengusaha batik baikdalam bentuk toko modern atau di pengolahan limbah danpeningkatan kesadaran industri batikmengenai pengelolaan limbahUpaya yang dapat dilakukan dalammengatasi permasalahan limbah batikadalah mengadakan instalasi pengolahanair limbah IPAL. Proses membangun IPALdapat memanfaatkan pendanaan, baikswadaya industri batik, pemanfaatan danaAPBD/APBN maupun akses dana pembangunan IPAL, maka perludiadakan pembimbingan untukmeningkatkan kesadaran industri batikuntuk pengelolaan limbah. Proses inimenjadi penting karena kondisi faktualmembuktikan kesadaran industri batikuntuk mengelola limbah masih di Kabupaten Pekalongan sebagaisalah satu sentra batik di Indonesia,sebenarnya sudah dibangun IPAL namunsaat ini tidak digunakan oleh industri batikyang ada. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaAdvokasi dan pemasaran sosial kepadakonsumen mengenai batik tulis dan batikcapAdvokasi dan pemasaran sosial socialmarketing terhadap esensi batik bertujuanuntuk meningkatkan pemahamankonsumen mengenai perbedaan antarabatik tulis/cap denganprintingbermotifbatik. Advokasi dan pemasaran sosial dapatdilakukan melalui media massa maupunmedia digital. Pemanfaatan media digitaldengan melakukan digitalstorytellingdimana pemerintah, asosiasi, industri batik,pendamping, dan masyarakat penggiatbatik mengedukasi masyarakat luas melaluitulisan yang mendukung batik tulis/ mempercepat proses ini, maka perlupemanfaatan media sosial seperti Instagram,Facebook, Twitter maupun DAN SARANKesimpulanJumlah industri batik di Indonesiadiperkirakan mencapai unit dengantenaga kerja sebanyak orang danmampu mencapai nilai produksi sekitar407,5 miliar rupiah per bulan atau setara4,89 triliun rupiah per tahun. Permasalahanyang dihadapi oleh industri batik terdiri dariprinting, bahan baku, keterampilan tenagakerja, pengembangan usaha kain lokal,pengelolaan limbah, pembinaan danpendampingan oleh Organisasi PerangkatDaerah OPD, persaingan denganprintingbermotif dilakukan pendataan secarareguler dan berkelanjutan mengenaisebaran industri batik di Indonesia dansosialisasi kepada masyarakat tentangperbedaan batik tulis, batik cap, danprintingbermotif batik. Selain itu, juga perludilakukan penelitian mengenai persepsi danpreferensi konsumen terhadap batik motifbudaya TERIMA KASIHTerima kasih kami sampaikan kepadaDirektorat Jenderal Industri Kecil Menengahdan Aneka atas kesempatan yang telahdiberikan untuk melaksanakan penelitian kasih juga kepada DinasPerindustrian, asosiasi pengusaha/perajinbatik, dan industri batik pada masing-masing wilayah penelitian atas kesediannyaberbagi informasi dan berdiskusi mengenaiperkembangan industri PUSTAKAAditya, D. F. 2014. Fashion and FashionEducation and FashionEducation Journal,31, 27– D. P. B. 2018. Perlindungan HukumTerhadap Kebudayaan Melalui WorldHeritage Centre IUS QUIA IUSTUM,252, 256– Jambi. 2017.Batik W. 2018. Bentuk, Makna DanFungsi Seni Kerajinan Batik ATRAT,61, 58– & Wikanto, A. 2015.Impor Batiktak Lagi 2013.Batik Nusantara Batik of R. 2018. Analisis PerilakuKonsumen Terhadap Produk Batik Ekonomi, Bisnis, DanAkuntansi JEBA,2001, 1– L. P., & Rani, F. 2012. Model Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaDiplomasi Indonesia TerhadapUNESCO Dalam Mematenkan BatikSebagai Warisan Budaya IndonesiaTahun 2009 Leni Putri Lusianti ∗&Faisyal Rani ∗.Jurnal Transnasional,32.Masiswo, Setiawan, J., Atika, V., &Mandegani, G. B. 2017. KarakteristikFisik Produk Batik Dan Tiruan Kerajinan Dan Batik MajalahIlmiah,342, 103– E. 2018. Jangan Sebut itu “Batikprinting” Karena Batik Arts and Performance Journal,11, 25– Heriyana, & Rasyimah. 2008.Analisis Industri Batik di Ekonomi,73, 124– A. 2014. Simulasi Citra NasionalisMelalui Fashion Studi Kasus Batikprintingdalam Gaya Hidup PostModern Masyarakat 551– A. R. 2010. Pengembangan danPerlindungan Kekayaan Budaya DaerahRespon Pemerintah IndonesiaTerhadap Adanya Klaim Oleh & Budaya, 167– M. 2012. Analisis Eksplanatori FaktorDaya Saing Industri Kecil Studi padaSentra Industri Kecil Batik di KotaJambi.Manajemen DanKewirausahaan,142, 91– G., & Rani, F. 2014. DiplomasiIndonesia Terhadap UNESCO dalamMeresmikan Subak Sebagai WarisanBudaya FISIP,22, 1– D. I., Puspitasari, D., & Muljadi, F.2012. Penentuan Waktu Standar danJumlah Tenaga Kerja Optimal PadaProduksi Batik Cap Studi Kasus IKMBatik Saud Effendy, Laweyan .JTiUndip Jurnal Teknik Industri,VII3,143– D. I., Sari, D. P., WP, S. N., Muljadi,F., & Lestari, S. P. 2013. PengelolaanProduksi Menggunakan PendekatanLean and Green untuk Menuju IndustriBatik yang Berkelanjutan Studi Kasusdi UKM Batik Puspa Kencana.JTiUndip Jurnal Teknik Industri,VIII1,43– H. 2013. Analisis Penerapan TaxPlanning Atas Pajak Penghasilan Riset Ekonomi, Manajemen,Bisnis Dan Akuntansi,13, 410– I. R., & Eskak, E. 2012. KajianEstetika Desain Batik Khas Sleman“Semarak Salak.”Dinamika KerajinanDan Batik Majalah Ilmiah,322, 1– J., Mandegani, G. B., & Rufaida, 2014. Analisis Kesesuaian KursiPembatik Terhadap KondisiAntropometri Pekerja Batik Kerajinan Dan Batik MajalahIlmiah,312, E., Abdullan, I., & Lasiyo. 2011.Strategi Pengembangan KomoditasStudi Tentang Budaya Ekonomi diKalangan Pengusaha Batik 213– A. P. 2016. Karakteristik MotifBatik Kendal Interpretasi dari Wilayahdan Letak Imajinasi,X1.Suhardi, B., Laksono, P. W., & Fadhilah, N. N.2017. Analisis Penerapan ProduksiBersih pada BatikprintingIKM BatikPuspa Kencana Laweyan Teknologi Industri Pertanian,272, 182– Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79- 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di IndonesiaSuliyanto, Novandari, W., & Setyawati, S. M.2015.Persepsi Generasi MudaTerhadap 135– I. 2017.Terpesona Lembaran KainSumatera N. N., & Retnosary, R. 2020.Pengembangan Model PemasaranBatik Karawang Sebagai ProdukUnggulan Inovasi DanPengelolaan Laboratorium,21, 21– A. P. 2014. Perlindungan Hukumterhadap Kain Bentenan sebagaiEkspresi Budaya Tradisional Hukum Unsrat,II2, 1– A. D., & Triyono, R. A. 2011.Pemanfaatan Blackberry SebagaiSarana Komunikasi dan Penjualan BatikOnline dengan Sistem Dropship diBatik Solo Speed - SentraPenelitian Engineering Dan Edukasi,33, 33– N., & Fauziah, N. 2016.Industri Kerajinan Batik Tulis Trusmidan Dampaknya Terhadap PendapatanPengrajin Batik Tulis Trusmi di DesaTrusmi Kulon 124– A. 2011.Batik NusantaraMakna Filosofis, Cara Pembuatan, danIndustri Batik. Andi OFFSET. Dinamika Kerajinan dan Batik Majalah Ilmiah. Vol. 37 No. 1, Juni 2020, hal. 79 - 92Siregar, dkk, Upaya Pengembangan Industri Batik Di Indonesia ... Proses pembuatan batik telah mengalami perkembangan, mulai dari batik cap dan batik printing. Dalam pembuatan batik tulis untuk 110 potong membutuhkan menit, untuk batik cap dari awal pembuatan sampai nglorod membutuhkan waktu sekitar 912 menit, sedangkan untuk printing motif batik hanya membutuhkan 5 menit pengerjaan Pratiwa Siregar et al., 2020. Adanya penggunaan teknologi printing dalam pembuatan kain batik membuat persaingan semakin terasa. ...... Adanya penggunaan teknologi printing dalam pembuatan kain batik membuat persaingan semakin terasa. Kelebihan dari penggunaan teknologi printing dalam pembuatan batik adalah dapat menghasilkan produk dalam jumlah banyak dengan waktu yang lebih singkat, ditambah dengan para pengusaha yang lebih condong memikirkan keuntungan dibandingkan dengan kelestarian budaya Pratiwa Siregar et al., 2020. Adanya persaingan tersebut membuat keberadaan batik tulis kembali dipertanyakan. ...The purpose of this study was to find out the effort Batik Lasem artist in Babagan village to preserving and maintaining the Lasem batik industry. This study was designed using desriptive qualitative research methods. This study used four samples of artisans namely Batik “Sekar Kencana”, Batik “Kidang Mas”, Batik “Sumber Rejeki” dan Batik “Sekar Mulyo”. In this study, research data analysis technique uses three component are data reduction, data presentation, and conclusion. The results of this study found that the Batik Lasem artisans in Babagan village still produce and maintain the authencity of Batik Tulis Lasem as did Batik “Sekar Kencana” dan Batik “Kidang Mas”. Beside that, the artisans also made a modification and innovation of Batik tulis Lasem to keep up with the market demand. Other than, artisans of Batik tulis Lasem have used social mediato sell their batik fabrics and as an effort to intoduce Batik tulis Lasem to wider audience. Based on the result, artisans as a agent has a reciprocal relationship with the social structure in production and reproduction their action in accordance with the theory of structuration. Where the structure as a rule makes artisans still create authentic Batik Lasem to maintain sustainability. But, it also creates a new structure as a “outcome” the reproduction of their action which makes Batik Tulis Lasem more diverse and to introduced more widely using social media.... The increase in the batik industry in Indonesia is in line with the increase in the liquid waste of the batik industry. The most batik-producing areas on the island of Java are spread over Central Java, West Java, East Java, Yogyakarta, Banten, and Jakarta, while outside Java, the largest batik industry is in the province of Jambi [1]. Waste is the result of residual waste generated from a production process, both industrial and domestic household, better known as waste [2]. ...Sukmaningrum Latifah Oktaviani Nurma Yunita Indriyantip>This literature review aims to determine the characteristics of the batik industrial wastewater, the type of adsorbent activation method most widely used to adsorb lead Pb in the batik industry wastewater, and the correlation between the source of cellulose and parameters on the adsorption ability of lead metal Pb with variations in adsorbent mass, pH and contact time in batik industrial wastewater. This literature review was carried out in 7 steps exploring topics, searching, storing, and organizing information, selecting the required information, expanding the search, analyzing, and evaluating. Information and present the results. This literature review shows that Batik industrial wastewater contains BOD, COD, TSS, and heavy metals. The literature review obtained that the BOD and COD values came from the batik industrial wastewater of Jetis Sidoharjo with a value of mg/L and mg/L, the largest TSS value came from the batik industrial wastewater Gedhog with a value of 449 mg/L. The largest metal content of lead came from the batik industrial wastewater of Wiradesa, with a value of mg/L. The most widely used activation method for treating adsorbents is the chemical activation method with strong acids such as HCl, HNO3, and H2SO4. There is a correlation between the source of cellulose and parameters in the adsorption of lead metal in batik industry wastewater. Different sources of cellulose and parameters resulted in different adsorption capacities. Based on the literature review, the highest percentage of cellulose was found in sawn teak 60%, corn cobs 41%, rice straw rice husks 34%, and kapok seeds Maximum adsorption lies in the adsorbent with a mass of – 1g, pH 5-7, and 30-45 minutes contact time. Padahal kebanyakan sentra industri batik berada di permukiman padat, termasuk di Laweyan, Kauman dan Pasar Kliwon. "Memang solusinya adalah instalasi yang dipakai bersama-sama atau komunal," kata dia. Simak bagaimana Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Denpasar, dan Sawahlunto menciptakan kawasan tanpa rokok demi menjadi kota/kabupaten layakPerjanjian Giyanti pada 13 Februari tahun 1755 tak hanya membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua; Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lebih dari itu, perjanjian yang dilakukan di Desa Giyanti sekitar 30 kilometer arah timur Kota Surakarta itu pada akhirnya juga membagi kekayaan Mataram. Senjata pusaka, gamelan, berikut kereta tunggangan dibagi rata. Namun, seluruh busana milik Keraton Mataram diboyongPangeran Mangkubumi ke Yogyakarta, termasuk batik tulis. Pangeran Mangkubumi kelak bergelar Hamengku Buwono I dan menjadi Raja Yogyakarta pertama. Sejak itulah Kasunanan Surakarta tidak memiliki batik khas keraton. Maka, Sang Raja, Paku Buwono III,membuat revolusi kebudayaan dengan mengundang para pembatik terbaik masuk keraton untuk membuat batik Gagrak Surakarta, atau batik khas khas KeratonSurakarta. Menurut salah satu putra Paku Buwono XII, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo KGPH Puger, sebelum Mataram pecah, batik Keraton dibuat oleh para putri keraton dan abdi dalem khusus untuk keluarga raja. Motif-motif yang berkembang saat itu, kata Puger, antara lain wahyu tumurun, lereng, serta bermacam motif parang dan motif sida sida mukti, sida luhur, dan sida drajad. Sementara itu, di luar keraton, industri rumahan tersebar di empat wilayah Surakarta, yaitu Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, dan Wonogiri. Mereka yang berada di luar keraton ini mengerjakan batik untuk masyarakat umum, dengan motif antara lain ceplok, gringsing, tambal, kawung, wonogiren, bondet, dan bermacam motif latar. “Masyarakat umum tidak boleh mengenakan batik Keraton karena batik itu dibuat hanya untuk keluarga raja. Mereka hanya boleh mengenakan batik motif primitif,” kata Puger yang juga Pelaksana Tugas Plt Paku Buwono XIII. Namun, Puger mengungapkan, setelah Kerajaan Mataram pecah dan seluruh ageman busana, termasuk batik, dibawa ke Yogyakarta, Kasunanan Surakarta harus menciptakan motif sendiri yang berbeda dengan Kasultanan Yogyakarta “Saat itulah Sinuhun Paku Buwono III membuat revolusi budaya. Sinuhun mengundang pembatik terbaik masuk keraton untuk membuat batik khas Kasunanan Surakarta, batik yang kelak menjadi ciri khas batik Surakarta,” jelas Puger. Menurut pengamat batik Ronggojati Sugiyatno, latar batik Surakarta lebih didominasi warna sogan coklat. Nama sogan ini berhubungan dengan penggunaan pewarna alami yang diambil dari batang kayu pohon soga tingi. “Sogan ini kombinasi warna coklat muda, coklat tua, coklat kekuningan, coklat kehitaman, dan coklat kemerahan. Itu ciri khas batik Surakarta dan Yogyakarta,” kata Sugiyatno. Namun, lanjut Sugiyatno, sogan Yogyakarta dan Surakarta berbeda. Sogan Yogyakarta dominan berwarna coklat tua-kehitaman dan putih, sedangkan sogan Surakarta berwarna coklat-oranye dan coklat. “Yang membedakan dengan sogan Yogyakarta biasanya motifnya. Ada beberapa motif batik Surakarta yang tidak dimiliki Yogyakarta, antara lain Parang Kusumo, Sidoasih, Sidoluruh, Truntum, Kawung, dan Sekar Jagat. Motif-motif itu kemudian menginspirasi perkembangan batik modern,” jelas Sugiyatno. Motif Klasik Batik Surakarta contoh gambar motif batik sidomukti Motif klasik batik Surakarta memiliki banyak ragam, lengkap dengan nilai filosofi terkait dengan dengan kehidupan masyarakat; kelahiran bayi, pernikahan, dan kematian. Artinya, motif batik tertentu hanya akan dikenakan sesuai dengan nilaiyang terkandung di dalamnya. Mereka yang mengerti batik tidak akan mengenakan sembarang motif untuk setiap acara. Beberapa motif klasik batik Surakarta yang terkenal, adalah motif Parang, Lereng, Kawung, dan Sawat. Motif-motif inimerupakan ageman atau busana luhur keraton karena hanya boleh dipakai oleh raja dan keluarganya. Motif ini disebut juga motif larangan karena terlarang untuk dipakai oleh abdi dalem atau masyarakat biasa. Sedangkan motif untuk masyarakat umum, adalah motif Soblog, Motif Sido Sido Mukti, Sidoasih, Sidoluhur, Sidodrajat, Bokor, Truntum, motif Semen Semen Rama, Semen Gendhong, Semen Prabu, Semen Wijaya Kusuma, Pamiluto, motif Ceplokan Ceplok Sriwedari, Satria Wibawa, dan motif Bondet. Dalam perkembangannya, pengerjaan batik tulis juga dilakukan di luar lingkungan keraton. Dua sentra pembuatan batik di Kota Surakarta yang terkenal, adalah Kampung Batik Kauman, dan Kampung Batik Laweyan. Di luar Kota Surakarta itu, sentra pembuatan batik yang juga dikenal adalah Desa Kliwonan dan Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen. Sedeangkan di Karanganyar, sentra pembuatan batik ada di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Karanganyar. Sentra-sentra batik ini mengerjakan ratusan motif batik Surakarta, baik klasik, modern, hingga kontemporer. Menariknya, semodern apa pun motif batik yang dibuat, mereka tetap meninggalkan jejak motif klasik. Industri batik rumahan di luar keraton ini kemudian melahirkan bermacam jenis batik, salah satunya batik Saudagaran. Jenis batik ini muncul terutama karena adanya ketentuan dari keraton bagi pembatik untuk membuat motif batik memodifikasi motif larangan menjadi motif baru sesuai dengan selera para saudagar. “Kenapa saudagar, karena saat itu hanya saudagar pengusaha yang mampu membeli batik. Para pembatik berkreasi,menambah ornamen, memperindah corak sehingga motif larangan yang telah didesain ulang itu bisa dipakai oleh masyakat umum,” jelas Sugiyatno. Muncul pula batik Petani batik pedesan yang tumbuh bersamaan dengan batik Saudagaran. Corak batik ini lebih sederhana. Gambar atau hiasan terinspirasi dari alam pedesaan, pohon, bunga-bunga, dan binatang. Menurut pemilik Batik Danarhadi, Santosa Dulah, batik petani banyak dikerjakan di luar wilayah Surakarta, seperti di Bayat Klaten,Pilang Sragen, Matesih Karanganyar, dan Bekonang Sukoharjo. Biasanya mereka menggabungkan pola-pola batik dari keraton yang dipadukan dengan alam pedesaan. “Motifbatik modern sekarang ini hasil kreasi dari motif dan jenis batik sebelumnya, mulai batik keraton, batik saudagaran, sampai batik petani. Tempat Belanja Batik Surakarta Kota Surakarta bisa dibilang sebagai surganya wisata belanja batik. Kota ini memiliki beberapa tempat untuk berburu batik dengan kualitas tempat untuk belanja batik itu adalah Pasar Klewer sebagai salah satu pusat belanja batik di Solo Pasar Klewer Pasar Klewer merupakan pusat belanja batik terbesar se_Asia, bahkan dunia. Harganya yang murah membuat pasar yang terletak di Jalan Dr. Rajiman ini sebagai tujuan para wisatawan, sekaligus tempat kulakan pedagang batik dari berbagai kota di Indonesia. Belanja di pasar ini Anda harus berani menawar hingga 50 persen dari harga yang ditawarkan. Tak seperti belanja di mal, harga batik di Pasar Klewer memang masih bisa ditawar. Semakin Anda pintar menawar, semakin murah harga yang akan Anda dapatkan. Namun, untuk sementara Anda belum bisa belanja di pasar ini. Saat ini hingga akhir tahun 2016 mendatang, Pasar Klewer sedang dalam proses pembangunan kembali setelah habis terbakar pada akhir tahun 2014. Sebagai gantinya, Anda bisa datang ke pasar klewer darurat di Alun-alun Utara Keraton Surakarta. Lokasinya sekitar 200 meter arah selatan Bundara Gladag di Jalan Slamet Riyadi. Kampung Batik Laweyan Kampung Batik Laweyan menjadi ikon wisata heritage dan batik di Kota Surakarta. Terdapat sekitar 300 rumah gerai batik di kampung ini menjadikan Kampung Batik Laweyan tujuan wisata belanja batik. Seperti membeli batik di Pasar Klewer, Anda harus pintar untuk menawar agar memperoleh harga yang lebih murah dari harga yang ditawarkan. Selain belanja, Anda juga bisa menyaksikan secara langsung peoses pembuatan batik di kampung tua ini. Lokasi kampung ini terletak di kawasan Jalan Dr Rajiman di pusat Kota Surakarta, tepatnya sekuitar 500 meter arah selatan dari Bunderan Purwosari di Jalan Slamet Riyadi. Kampung Batik Kauman Kauman merupakan kawasan permukiman yang lokasinya tak jauh dari Masjid Agung Keraton Surakarta. Seeperti halnya Kampung Batik Laweyan, kampung ini menyediakan gerai dan workshop pembuatan batik. Ciri khas dari batik Kampung Batik Kauman adalah warna yang cenderung lebih gelap seperti coklat kehitaman dengan motif modern. Di kampung ini terdapat sebuah komunitas bernama Paguyuban Batik Kauman di Jl Cakra No 14 Kauman yang memiliki tiga showroom yang diguanakan untuk roduksi, promosi, dan berjualan batik. House of Danar Hadi House of Danar Hadi berada di komplek wisata heritage dan batik terpadu milik PT Batik Danar Hadi. Di komplek ini terdapat museum batik dengan koleksi lebih dari batik, gerai batik dengan harga mulai jutaan House of Danar Hadi di Jalam Slamet Riyadi ini menawarkan kualitas batik nomor satu. Pusat Grosir Solo Pusat Grosir Solo PGS di kawasan Gladag merupakan pusat perbelanjaan batik di Kota Surakarta yang lengkap dan murah. Kios di PGS yang melayani penjualan batik secara grosir dan eceran. Jam buka mulai pukul hingga pukul WIB. Beteng Trade Center Lokasi Beteng Trade Center BTC bersebelahan dengan Pusat Grosir Solo PGS. Stan BTC melayani penjualan batik grosir dan eceran. Meski harga sudah terpasang, Anda masih bisa dapat menawar. BTC buka mulai pukul WIB hingga pukul WIB. Lumbung Batik Lumbung Batik terletak di Jalan Agus Salim 17, Sondakan, sekitar 300 meter dari Kampung Batik Batik memiliki sekitar 50 gerai batik. Sentra batik ini didirikan oleh Koperasi Pamong Pengusaha Batik Surakarta PPBS.Ganug Nugroho Adi Festival Batik di Surakarta Di Surakarta, batik bukan sekadar kain yang dipajang di gerai dan kios-kios batik. Sebagai kota tujuan wisata, Surakarta juga menawarkan batik dalam bentuknya yang lain, yaitu Solo Batik Carnival SBC, Red Batik, dan Solo Batik Fashion SBF. Ketiga event itu telah menjadi agenda tahunan untuk menarik wisatawan. Acara festival batik di Solo Solo Batik Carnival Solo Batik Carnival SBC menjadi event tahunan untuk memperkenalkan batik sebagai budaya Indonesia. Dalam festival ini, batik tampil menjadi kostum karnaval yang penuh kreasi. Kesan batik yang selama ini sebagai pakaian formal lenyap. Karnaval ini terinspirasi dari Jember Fashion Carnaval JFC, sebuah parade peragaan busana di jalanan. Tak heran jika konsep SBC hampir sama dengan JFC. Perbedaann hanya terletak pada bahan utama pembuatan kostum. Sesuai dengan namanya, Solo Batik Carnival menjadikan batik sebagai sumber ide sekaligus materi utama penciptaan kostum karnaval yang sepektakuler. Sebelum mengikuti karnaval, peserta mengikuti workshop merancang kostum selama berbulan-bulan. Kostum karnaval dirancang dan dipakai sendiri oleh peserta. Karnava batik ini melintasi Jalan Slamet Riyadi hingga Kantor Balai Kota Surakarta sejauh sekitar 6 kilometer. Digelar sejak tahun 2008, SBC digelar setiap bulan Juni. Vasternburg Carnival Karnaval ini menggunakan ruang arsitektur Benteng Vastenburg -benteng tua yang dibangun semasa pemerintahan Belanda, sebagai panggung karnaval. Kostum karnaval memadukan batik dan anyaman bambu dengan dominasi warna merah. Berbeda dengan Solo Batik Carnival yang menonjolkan arak-arakan, Vastenbur Carnival lebih mengeksplorasi ruang publik, yaitu Benteng Vastenburg yang merupakan bangunan cagar budaya. Solo Batik Fashion Solo Batik Fashion SBF juga menjadi salah satu festival yang mengekspos batik di Kota Surakarta. Fashion show khusus menampilkan rancangan batik ini digelar tahunan sejak tahun 2009. Solo Batik Fashion digelar di tempat-tempat terbuka yang menjadi ikon Kota Surakarta, seperti Bundaran Gladag, kawasan Ngasopuro, dan Benteng Vastenburg, menampilkan desianer lokal dan nasional.1G27.7j50j32s0y.pages.dev/386 7j50j32s0y.pages.dev/117 7j50j32s0y.pages.dev/219 7j50j32s0y.pages.dev/46 7j50j32s0y.pages.dev/31 7j50j32s0y.pages.dev/577 7j50j32s0y.pages.dev/523 7j50j32s0y.pages.dev/72 industri batik di surakarta dan yogyakarta termasuk industri
![]()